Cerita Sepiring Harapan Warung di Jogja Gratiskan Makan Bagi Perantau Terdampak Banjir Sumatera

1 hour ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Di sudut Kota Jogja, di warung-warung yang sederhana, sepiring nasi dan secangkir kopi menjadi lebih dari sekadar santapan. Itu adalah simbol kepedulian, penguat semangat, dan pengingat bahwa di tanah rantau, mereka tidak sendirian. Gelombang solidaritas ini lahir sebagai respons atas bencana banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang tak hanya merusak rumah, tetapi juga menghentikan denyut nadi ekonomi, termasuk kiriman uang bagi para perantau yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta.

Duka itu terasa oleh Nur Ismi (18), mahasiswi asal Langsa, Aceh. Kontaknya dengan keluarga terputus selama dua minggu.

"Karena juga curah hujannya yang sangat tinggi, terus menerus rumah rata-rata sudah tenggelam," ujarnya kepada Reporter Liputan6.com, usai menyelesaikan makan malamnya di Warkop Perdjuangan di Jalan Tegal Turi 58, Umbulharjo, Giwangan, pada Sabtu, 6 Desember 2025.

Kabar terakhir, keluarganya selamat, tapi mengungsi. Kekhawatiran akan biaya hidup di Jogja mulai menggelayuti pikirannya, terlebih untuk kebutuhan bulan depan yang masih tanda tanya.

Kisah serupa dialami Reyhan Putra Syahruli (23), mahasiswa magang asal Padang Panjang, Sumatera Barat. Sejak berangkat ke Jogja untuk menjalani program magang, komunikasinya dengan orang tua terputus total.

"Pas ditelepon, enggak lagi. Entah sim-nya mati atau bagaimana," ungkapnya.

Di tengah kebimbangan itu, kabar tentang warung yang membagikan makanan gratis menjadi penolong yang tak terduga.

Solidaritas yang Bangkit dari Kenangan dan Nilai Gotong Royong

Merespon keprihatinan itu, Krishna Wijaya, pemilik Warkop Perdjuangan di Giwangan, tergerak. Bagi Krishna, ini adalah panggilan sosial.

"Kita merasa sebagai warga Jogja, yang notabene kuat dalam gotong royong, kita tergerak untuk membantu, memberikan mereka akses minimal kebutuhan hidup dasarnya, makan dan minum," jelasnya.

Aksi ini bukan sekadar spontan, melainkan bagian dari nilai warungnya yang memang didedikasikan untuk "menemani perjuangan" orang-orang yang sedang kesulitan.

Solidaritas yang sama, tapi dengan resonansi personal yang dalam, datang dari Lola Icha Shintya, pemilik Keumala Jogja, restoran masakan khas Aceh. Sebagai korban selamat tsunami 2004, ia merasakan langsung betapa pedihnya kehilangan.

"Jadi kayak mengobati rasa rindu saya sama orang-orang yang ada di Aceh sana," tutur Lola, Ketika ditemui di rumah makan miliknya Keumala Jogja, di Jl. Prapanca No.1, Tegal Senggotan, Tirtonirmolo, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (8/12/2025).

Baginya, membagikan makanan gratis kepada adik-adik perantau adalah cara menyentuh langsung rasa sedih yang ia pahami betul.

Mekanisme Sederhana: KTP sebagai Bukti, Hati sebagai Syarat

Aksi ini dijalankan dengan prinsip kepercayaan dan kemudahan. Baik di Warkop Perdjuangan maupun Keumala Jogja, syaratnya sederhana, yakni cukup dengan menunjukkan KTP asal daerah terdampak (Aceh, Sumut, Sumbar). Tidak ada batasan menu, waktu, atau kuota.

"Mereka boleh kapanpun mengaksesnya, mau sarapan, makan siang, makan malam, sekaligus sehari boleh, sepanjang mereka masih merasa belum mampu untuk mandiri secara finansial maupun belum mendapatkan kiriman orang tua," tegas Krishna Wijaya.

Lola Icha Shintya juga menegaskan, programnya tanpa batas waktu. "Tidak ada membatasi waktu sama sekali," ujarnya. Respons yang datang pun semakin membesar. Dari yang awalnya hanya dua orang, kini puluhan mahasiswa datang, terutama di akhir pekan.

Jaring Pengaman yang Menyebar: Dari Gudeg hingga Nasi Lemak

Inisiatif solidaritas ini bukan hanya milik satu atau dua tempat. Liputan6.com telah merangkum setidaknya 8 warung makan di Jogja yang menjalankan program serupa, termasuk Gudeg Yu Djum, Nasi Lemak Jasa Ayah, Warung Kayu Manis YK, Warung Makan Nusantara, Warung Makan Kenangrasa, dan kolaborasi Bantul Mantul x Bungong Jeumpa. Mereka bersatu padu membentuk jaring pengaman sosial bagi perantau yang sedang terjepit.

Dana operasional umumnya berasal dari kantong pribadi pemilik, meski ada pula yang terbuka untuk sumbangan sukarela dari teman dekat. Seperti yang diungkapkan Krishna, mereka juga sedang merintis program bantuan biaya kos melalui kerja sama dengan donatur, menyadari bahwa pemulihan di daerah terdampak tak akan instan.

Kami Tidak Akan Tinggalkan Kalian Sendirian di Jogja

Di balik sepiring nasi, pesan yang lebih kuat tersampaikan, "mereka tidak dilupakan."

"Harapannya, duka Sumatera itu adalah duka Indonesia. Jadi jangan pernah ngerasa sendiri," pesan Krishna Wijaya kepada para perantau. "Ada banyak orang yang akan ngebantu kalian bangkit."

Bagi Nur Ismi dan Reyhan, bantuan ini sangat meringankan. "Alhamdulillah,tenang, apalagi makanannya enak. Cukup meringankan," kata Reyhan dengan senyum lega. Mereka menemukan bukan hanya makanan, tetapi juga rasa nyaman dan dukungan moral.

Aksi sederhana berbagi makanan ini membuktikan bahwa kemanusiaan dan gotong royong masih menjadi napas kehidupan sosial di Jogja. Dalam kehangatan warung-warung tersebut, para perantau menemukan secercah harapan dan keyakinan bahwa selama masih ada solidaritas, semangat untuk terus berjuang tidak akan pernah padam.

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner