Lahan Menyempit, Petani Gurem Kian ‘Sekarat’ Topang Ketahanan Pangan Daerah

23 hours ago 7

Liputan6.com, Sukabumi - Lukman, sudah lebih dari 30 tahun menggantungkan hidupnya sebagai buruh tani dengan bayaran hanya Rp5 ribu hingga Rp50 ribu.

Sebuah tungku hitam pekat pemberian Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi saksi perjalanan Lukman (62 tahun) menghidupi istrinya Karsih dan kedua anaknya.

Di dalam rumah panggung berdinding kayu di Kampung Ranca Seel RT.18/09 Desa Lengkong Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, Lukman bercerita mulai ikut bertani bersama orang tuanya sejak usia 18 tahun.

Sehari-hari, Lukman harus berjalan kaki selama 1 jam 30 menit untuk sampai ke lahan eks perkebunan, karena tak memiliki kendaraan. 

"Kalau gajian harian, setengah hari dulu itu Rp5 ribu belum resiko dapur, belum ongkos anak sekolah ke Tegal Lega, jadi dibagi bagi,” tutur Lukman kepada Liputan6.com pada Jumat (5/12/2025).

Hasil panen yang pas-pasan membuat Lukman harus membeli kebutuhan pokok dan biaya sekolah anaknya hingga lulus SMA. Sang anak pun enggan meneruskan profesinya sebagai petani dan lebih memilih bekerja sebagai buruh harian di luar kota.

"Tabungan darimana, boro-boro tabungan. Jarang kalau petani punya tabungan, karena hanya cukup menutupi kebutuhan sehari-hari aja,” ungkapnya, sambil sesekali menyeka keringat saat menunggu nasi matang dekat tungku.

Keadaan itu pun kian berat, dengan adanya sistem ijon dari tengkulak memaksa Lukman harus berhutang bibit dan pupuk, hingga hasil panennya di lahan eks perkebunan harus dijual ke tengkulak dengan harga murah.

"Kan jauh dari pertama tanam bibit sampai hasil minimal dua bulan tiga bulan baru kita ambil hasilnya. Kadang-kadang dari hasil tani harga pasaran murah lagi,” lirihnya.

Petani dan pengrajin ulos di Sumatera Utara kehilangan mata pencaharian setelah banjir dan longsor menghancurkan lahan, memutus akses, dan memaksa mereka bergantung pada bantuan.

Pengaruh Kepemilikan Lahan Terhadap Turunnya Jumlah Petani

Kisah Lukman menjadi salah satu potret kemiskinan petani penggarap di Jawa Barat. Di Kabupaten Sukabumi sendiri, sedikitnya terdapat 86,8% dari 393.000 orang petani masuk ke dalam kategori petani gurem atau petani tak memiliki lahan.

Data Badan Pusat Statistik Indonesia pada sensus pertanian menunjukkan jumlah petani berkurang drastis sejak tahun 2013 hingga 2023 sebanyak 7,43%. Hal ini disebabkan oleh profesi petani dianggap kurang menguntungkan hingga akhirnya ditinggalkan.

Persoalan tak memiliki lahan untuk usaha bertani juga memaksa ratusan petani hanya mampu menggantungkan hidup sebagai buruh di lahan eks perkebunan. 

Mereka berharap perubahan kesejahteraan dari lahan tersebut meskipun masih secara ilegal, seperti yang terjadi di Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi.

Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Cabang Sukabumi, Rozak Daud mengatakan, hak guna usaha perkebunan telah habis pada tahun 2021 lalu. Kini lahannya digarap oleh ratusan petani dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lengkong dan Jampang Tengah dengan sebagian besar merupakan buruh tani.

"Problemnya adalah wilayah di pedesaan ini rata-rata sudah menjadi lahan perkebunan dan kehutanan. Sehingga karena tidak ada lahan akhirnya masyarakat mau menjadi petani pun susah,” ujar Rozak.

Menurutnya, salah satu faktor jumlah petani menurun adalah berkurangnya masyarakat yang memiliki lahan. Termasuk banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi industri maupun dikelola korporasi.

"Masyarakat pedesaan wilayahnya tanahnya itu dikuasai oleh korporasi, sehingga generasi mudanya petaninya mau bertani tidak ada tanah sementara kebutuhan hidup ya harus bertahan,” tuturnya.

Baginya, hingga kini kesejahteraan perekonomian di sektor pertanian hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki modal besar dan lahan. 

Sementara bagi masyarakat yang hanya memiliki kemampuan bertani tanpa punya lahan, berakhir pada menghabiskan tenaganya menjadi petani gurem.

"Pada akhirnya hanya bagi pemilik modalnya saja, petaninya tetap menjadi buruh tani, akhirnya lebih baik dia menguasai tanah 1.000 2.000 meter menguasai secara merdeka berdaulat. Daripada mengikuti program yang ditawarkan oleh pemerintah dalam konteks ketahanan pangan ini,” ujarnya.

Lahan Sempit, Petani Semakin Sulit

Kondisi itu pun dinilai Rozak turut mempengaruhi jumlah petani usia muda. Ketiadaan lahan dan kurangnya kesejahteraan, membuat anak-anak petani lebih memilih menjadi pekerja urban ke wilayah perkotaan.

Kemampuan bertahan yang biasa dihadapi para petani penggarap usia tua, berbanding terbalik dengan harapan generasi muda dari keluarga petani.

"Seiring perkembangan kehidupan anak-anaknya pasti punya ekspektasi yang berbeda. Akhirnya masyarakat ini menjadi masyarakat urban ke perkotaan, jadi buruh atau apapun, karena di desa wilayah yang kategorinya harus menjadi petani kan tidak ada tempat,” jelasnya.

Disisi lain, pihaknya juga melakukan berbagai upaya agar petani tetap beregenerasi. Keluarga petani terus dilibatkan dalam berbagai kegiatan melalui SPI, dengan harapan anak-anak petani ini bisa mewariskan perjuangan orang tuanya.

Upaya tersebut meliputi edukasi dasar sistem agroekologis dalam membuat pupuk organik dan cara berkebun. Tak jarang, anak petani juga dilibatkan dalam kegiatan pelatihan pertanian hingga ke luar daerah.

"Mungkin sebatas teori dengan harapan setelah orang tuanya sudah tidak kuat menjadi petani, minimal bisa anak-anaknya bisa meneruskan itu,” imbuhnya.

Terobosan Lahan Edukasi Upaya Tarik Minat Petani Gen Z

Kesulitan lahan untuk menanam dan banyaknya petani yang tak memiliki lahan ini pun dirasakan oleh Brigadir Akka Mahpudin, sebagai Bhabinkamtibmas Polsek Cisolok, Kabupaten Sukabumi, saat menjalankan program ketahanan pangan Polri menanam jagung hibrida. 

"Program dari bapak presiden Prabowo itu ketahanan pangan khususnya di kepolisian karena mengarah ke penanaman jagung. Adapun ketika kita ke lapangan, ternyata banyak petani yang sudah istilahnya tidak mumpuni untuk dari umur dan banyak kendala lainnya,” ucap Brigadir Akka.

Dalam perjalanan itu, ia menemui fakta banyaknya petani usia lanjut. Adapun petani usia produktif mengalami kesulitan karena tak mempunyai lahan.

Ia menuturkan, minimnya lahan pertanian ditambah susahnya mencari petani yang mau menanam membuat dirinya mencetuskan ide mencetak generasi petani Gen-Z.

Di atas tanah seluas kurang lebih satu hektar, inovasi itu dibuat dengan membuat kebun edukasi bagi pelajar untuk menanam jagung di desanya. 

"Ada yang mempunyai lahan tapi tidak ada generasinya untuk meneruskan. Dari situlah saya memiliki gagasan atau ide berinovasi, lahirlah kebun edukasi petani milenial ini. Karena swasembada pangan ini tidak mungkin bisa kita realisasikan kalau tidak ada petaninya,” ucap Akka.

Inovasi dan Kemandirian Bagi Petani Versi Pemerintah

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengklaim telah memberikan perlindungan dan kesejahteraan petani. Mulai dari petani pemilik lahan hingga petani gurem.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, Aep Majmudin mengungkapkan, upaya itu dilakukan diantaranya dengan membuat peraturan daerah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau LP2B.

Hingga program pembagian Tanah Objek Reforma Agraria atau TORA di eks lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis.  

"Perda LP2B yang dilanjutkan juga dengan peraturan bupati, itu kesepakatan antara pemerintah dengan pemilik lahan. Itu juga salah satu terobosan kita salah satu upaya untuk mempertahankan alih fungsi lahan,” kata Aep.

Ia menjelaskan, peraturan itu dibuat menindaklanjuti UU nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan. Selain itu masyarakat juga akan mendapatkan lahan garapan dari program TORA bagi petani gurem dengan lahan dibawah 0,5 hektar. 

"Dimana kita di Sukabumi ini ada 52 HGU dan ada beberapa yang sudah habis, kita dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional) diketahui oleh Bupati, ada program TORA artinya itu lahannya dibagikan kepada masyarakat,” jelasnya.

Kedua terobosan itu juga menjadi bagian upaya Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sektor industri, seiring terjadinya alih fungsi lahan. Di tengah menjalankan program pemerintah pusat mengenai ketahanan pangan.

Tingkatkan Kualitas dengan Pendidikan 

Kendati begitu, Aep tak menampik kendala di lapangan masih terjadi. Tak jarang, para pemilik lahan enggan memproses LP2B. Karena merasa memiliki surat kepemilikan lahan yang dinilai bisa lebih menguntungkan jika dimanfaatkan pada sektor lain.

"Tapi apapun itu alhamdulillah kita bisa terakomodir kurang lebih 14.000 hektar. Hari ini Luas Baku Sawah (LBS) kita 69.000 hektar adalah 14.000 hektar yang memang kita sudah masuk LP2B dan ini suatu keberhasilan,” ungkapnya.

Kebijakan itu juga dinilai berperan penting dalam peningkatan angka kebutuhan pangan. Masih kata Aep, Kabupaten Sukabumi masuk kategori surplus sekitar 300 ribu ton dari kebutuhan untuk makanan orang Sukabumi hanya 270 ribu ton. 

"Jadi kita menyumbang produksi pangan pertanian untuk nasional dan Jawa Barat,” kata dia.

Adapun dalam upaya regenerasi petani, Dinas Pertanian mengklaim hingga kini tercatat tidak kurang dari 19.000 orang bakal petani yang telah dilatih dan diberi pendampingan selama 5 tahun terakhir. 

Selain itu, pemerintah juga bekerjasama dengan perguruan tinggi di Sukabumi untuk memberikan beasiswa bagi anak-anak petani.

"Untuk anak-anak petani diberi kesempatan untuk bersekolah sarjana S1 sehingga mudah-mudahan nanti sesudah lulus mereka bisa melanjutkan orang tuanya untuk membangun desanya di bidang pertanian,” tuturnya.

Cita-cita kemandirian pangan harus menjadi perhatian seluruh stakeholder, mulai dari kebijakan pemerintah pusat hingga daerah. Serta komitmen bersama para petani. 

Kebijakan yang mendukung petani memiliki lahan pertanian dapat menjadi salah satu tolok ukur menjaga jumlah petani di masa mendatang.

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner