Jakarta -
Eko Yuli Irawan, Suryo Agung, dan Azzahra Permatahani layak disebut sebagai pahlawan olahraga berkat prestasi mereka di level internasional. Kalau bagi mereka sendiri, siapa yang menjadi pahlawan?
Bukan figur terkenal seperti kebiasaan atlet. Bagi ketiganya, pahlawan itu adalah sosok yang paling dekat dengan mereka, yaitu orang tua.
Hal itu diungkapkan Eko dalam acara talkshow bertajuk Heroes Beyond Border: Olympic Movement in Action bersama Komite Olimpiade Indonesia di kawasan Sudirman, Minggu (10/11/2024)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pasti orang tua karena beliau yang selalu memberikan terbaik dalam kondisi apapun dengan keterbatasannya. Bagaimana anaknya bisa makan? Bagaimana bisa sekolah? Jadi orang tua adalah pahlawan," kata Eko.
Menjadi atlet memang menjadi mimpi Eko Yuli sejak kecil. Padahal, ia bukan dari latar belakang keluarga olahragawan. Tak heran, apapun bentuknya ia upayakan untuk bisa memberikan hasil terbaik.
Terbukti, Eko saat ini tercatat sebagai peraih empat medali di lima Olimpiade periode 2008 hingga 2024.
"Dari awal saya bukan keluarga olahraga, karena pendidikan tak pintar. Dulu mau masuk sepakbola, tapi masuk sekolah bola mahal. Akhirnya, saya main sama teman dan lihat sasana. Saya ikut latihan dan ikut kejuaraan dan dapat medali langsung," Eko menceritakan.
"Setelah itu memang saya buktikan bahwa ke depan saya harus ke Olimpiade. Untuk konsisten juga atlet harus punya mental yang kuat, kita juga butuh pembina yang membina untuk asupan, recovery dan lain-lain karena kami tak bisa sendiri, dan itu banyak tangan-tangan yang membantu sampai akhirnya kita bisa konsisten sampai sekarang," ujarnya.
Eko Yuli Irawan, Suryo Agung, dan Azzahra Permatahani alam acara talkshow bertajuk Heroes Beyond Border: Olympic Movement in Action bersama Komite Olimpiade Indonesia di kawasan Sudirman, Minggu (10/11/2024) Foto: Mercy Raya/detikcom
Hal serupa diungkapkan olimpian Beijing 2008 Suryo Agung. Dia merasa orang tuanya-lah yang selama ini menjadi pahlawan hidupnya hingga ia bisa seperti sekarang.
"Support orang tua karena perjuangan mereka itu lah kenapa yang membuat kita begini dan apa yang di berikan orang tua dengan tulus ikhlas. Apa yang kami perjuangkan untuk orang tua dan Merah Putih juga," tuturnya.
Perenang andalan Indonesia Azzahra Permatahani juga mengungkapkan hal senada. Tak hanya menyebut orang tua sebagai pahlawan, tapi atlet kelahiran 7 Januari 2002 itu juga merasa beruntung karena memiliki orang tua yang tak pernah menekannya harus menjadi perenang.
"Pahlawan saya itu orang tua karena dari kecil mereka yang membantu dan ngantetin saya pagi sore. Latihan itu kan itu dua jam dan latihan pagi mulainya subuh. Jadi berangkat itu mesti pukul 04.00 WIB," kata Azzahra.
"Tentunya semua orang tua ingin anaknya menjadi sesuatu cuma orang tua saya dari sejak kecil dan berenang enggak dikasih tekanan harus jadi perenang. Tapi saya memang niat sendiri usai melihat kakak saya berenang."
"Di usia lima tahun masuk les dan terus bisa masuk Timnas dan olimpiade. Jadi mereka itu tak menyangka bisa menembus olimpiade, malah melebihi ekspetasi," ungkap Azzahra.
Kini, Azzahra bukanlah sekadar perenang biasa. Ia tercatat sudah dua kali main di Olimpiade, yaitu di Tokyo 2020 dan Paris 2024. Ia juga berprestasi di Islamic Solidarity Games (ISG) 2017 dengan meraih medali perak, dan dua medali perak di SEA Games 2017 dan 2019.
(mcy/krs)