Fakta di Balik Jaringan Teroris Incar Anak-Anak: Manfaatkan Medsos, Bullying, dan Game Online

16 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Jumat, 7 November 2025, menjadi hari kelabu bagi SMAN 72 Jakarta. Seorang pria pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.30 WIB tiba-tiba masuk melewati gerbang sekolah membawa tas punggung merah dan tas biru yang ditenteng. Kemudian pukul 11.43 WIB, saat waktu salat Jumat pria tersebut menuju masjid sekolah tanpa alas kaki, dengan pandangan tampak memantau situasi di luar masjid.

Selanjutnya, sekitar pukul 12.05 menit, pelaku melepas baju seragamnya dan mengenakan kaos putih serta celana hitam menuju masjid sembari menenteng senjata mainan lalu mengarahkannya ke arah masjid sekolah. Lalu tak lama pria itu mengarahkan senjata mainannya ke arah masjid, cahaya merah keluar dari dalam masjid disertai ledakan dan mengeluarkan asap putih.

Akibat bom itu, sejumlah siswa yang hendak salat Jumat terluka dan langsung dibawa untuk mendapat pertolongan medis. 

Usai kejadian bom itu, Tim Datasement Khusus atau Tim Densus 88 Antiteror Polri mengungkap modus jaringan terorisme untuk merekrut anak-anak dan pelajar. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sosial media seperti Facebook (FB), Instagram (IG), hingga bahkan game online.

"Ada pun modus penyebaran, propaganda, dilakukan secara bertahap. Propaganda pada awalnya didisiminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti FB, Instagram, dan game online," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).

Menurut dia, setelah anak-anak atau pelajar tersebut perlahan terpapar propaganda, maka pelaku bakal mencoba menghubungi secara personal, masih dengan memanfaatkan sosial media. Sepanjang 2025 ini, kata Trunoyudo, bahkan ada lebih dari 110 anak-anak yang direkrut jaringan terorisme.

"Kemudian setelahnya mereka yang dianggap target potensial akan dihubungi secara pribadi atau japri. Melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram," terang dia.

Penelusuran ini pun berdasarkan hasil dari penyelidikan dan penyidikan terbaru dalam setahun terakhir. Disusul penangkapan terkini pada Senin, 17 November 2025 terhadap dua tersangka yang berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok, di mana kelompok pertama berada di Sumatera Barat dan lainnya di Jawa Tengah.

Adapun dalam operasi sebelumnya, telah ditangkap tiga orang dengan perkara yang berbeda.

"Bahwa telah ditemukan tiga perkara, yaitu perkara utama secara terpisah yang menggunakan modus rekrutmen anak dan pelajar dengan memanfaatkan ruang digital, termasuk di antaranya media sosial, game online, aplikasi perpesan instan dan situs-situs tertutup," Trunoyuo menandaskan.

Jebakan Pertanyaan

Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Polri membongkar proses perekrutan anak-anak dalam jaringan terorisme. Para pelaku menjebak anak-anak dengan pertanyaan.

Jika jawaban sesuai ideologi mereka, anak-anak itu akan dimasukkan dalam grup. Jaringan terorisme menggunakan latar belakang ideologi kanan, seperti agama.

“Mungkin ada pertanyaan seperti ini, ‘Manakah yang lebih baik antara Pancasila dengan kitab suci?’, itu salah satu jebakan pertama,” kata Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Padahal, ancasila dan kitab suci bukanlah dua hal yang bisa dibandingkan karena memiliki posisi yang berbeda. Dia melanjutkan, jika anak menjawab kitab suci lebih baik daripada Pancasila, kemudian akan ditanya pertanyaan kedua. Pertanyaannya, mana yang lebih baik antara negara Indonesia dengan negara berdasarkan agama.

Apabila menjawab agama, maka anak akan direkrut masuk ke dalam grup jaringan terorisme. Mayndra juga mengungkapkan, ada fenomena di mana anak sudah keluar dari grup, tetapi diundang masuk kembali oleh admin.

Ruang digital pun menjadi alat praktis untuk memengaruhi mereka

“Propaganda didisiminasi dengan menggunakan video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis,” tambah Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko.

Polisi mendorong orang tua untuk mengecek ponsel anak untuk mencegah anak menjadi korban rekrutmen jaringan terorisme.

“Orang tua punya kendali terhadap anaknya. Ambil handphone (ponsel) putra-putrinya, secara sidak seperti itu,” kata AKBP Mayndra Eka Wardhana. 

Trunoyudo Wisnu Andiko juga menuturkan, Polri merekomendasikan empat langkah utama guna mencegah anak menjadi korban rekrutmen jaringan terorisme.

Langkah pertama adalah adanya kajian regulasi terkait pembatasan dan pengawasan pemanfaatan media sosial untuk anak di bawah umur.

Kedua, pembentukan tim terpadu lintas kementerian/lembaga untuk deteksi dini, edukasi, intervensi pencegahan, penegakan hukum, pendampingan psikologis, serta pengawasan pascaintervensi.

Ketiga, penyusunan standard operating procedure (SOP) teknis bagi seluruh pemangku kepentingan agar penanganan dilakukan secara cepat, seragam, dan sesuai pada mandat serta tupoksi pada masing-masing institusi.

Terakhir, Polri meminta agar seluruh elemen masyarakat untuk peduli dengan fenomena ini dan dapat terus ikut serta dalam menghentikan mata rantai rekrutmen online.

“Polri beserta seluruh kementerian dan lembaga, menegaskan komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman radikalisasi, eksploitasi ideologi, maupun kekerasan digital untuk melindungi anak-anak Indonesia serta terus bekerja sama dengan seluruh unsur-unsur pemerintah serta masyarakat,” ucapnya.

Ruang Digital Jadi Alat Praktis

Densus 88 Antiteror Polri mengungkap penyebaran propaganda jaringan terorisme di media sosial yang menyasar kepada anak-anak dan pelajar. Ruang digital pun menjadi alat praktis untuk memengaruhi mereka.

“Propaganda didisiminasi dengan menggunakan video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis,” tutur Trunoyudo Wisnu Andiko.

Trunoyudo mengatakan, kerentanan terhadap anak-anak untuk terpancing masuk dalam jaringan terorisme juga dipengaruhi sejumlah faktor sosial. Termasuk peristiwa perundungan atau bullying dan keretakan keluarga, yang dikenal dalam status sosial sebagai broken home.

"Kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," jelas dia.   

Sementara itu, Mayndra Eka Wardhana menambahkan, berbagai platform media sosial termasuk game online menjadi alat untuk menarik minat anak-anak dan pelajar. Mereka dibuat tertarik terlebih dahulu sebelum diajak berkomunikasi secara personal.

“Jadi tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia ya, yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik. Seperti tadi disebutkan oleh Pak Dirjen dari Komdigi, ada beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak kita ini ya, bermain game online,” ungkap Mayndra.

“Nah di situ mereka juga ada sarana komunikasi chat, gitu ya. Ketika di sana terbentuk sebuah komunikasi, lalu mereka dimasukkan kembali ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi, yang lebih tidak bisa terakses oleh umum,” sambungnya.

Yang pasti, kata Mayndra, ada beberapa proses yang sedari awal tidak secara langsung menuju ideologi terorisme. Anak-anak dibuat tertarik terlebih dulu, kemudian diarahkan mengikuti grup umum, dan dilanjutkan ke grup yang lebih kecil atau privat.

“Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung. Jadi memang tidak bisa kita sebut satu platform saja, tetapi berbagai model,” Mayndra menandaskan.

Densus 88 Tangkap Perekrut

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap lima tersangka terkait upaya rekrutmen anak-anak dan pelajar untuk masuk ke jaringan terorisme. Mereka diamankan di sejumlah wilayah, antara lain Sumatera Utara, Jawa Tengah hingga Sumatera Barat.

“Penindakan terbaru dilakukan pada 17 November 2025 dengan menangkap atau melakukan penangkapan dua tersangka dewasa yang berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok, di mana kelompok satu di Sumatera Barat dan satu di wilayah Jawa Tengah,” tutur Trunoyudo Wisnu Andiko.

Trunoyudo merinci identitas tersangka dan lokasi penangkapan, yaitu FW alias JT di Medan, Sumatera Utara; LM di Bangai, Sulawesi Tengah; PP alias BBMS di Sleman, Jawa Tengah; MSVO di Tegal, Jawa Tengah; dan JJS alias BS di Agam, Sumatera Barat.

“Dari hasil penyelidikan dan penyidikan setahun ini benar bahwa telah ditemukan tiga perkara, yaitu perkara utama secara terpisah yang menggunakan modus rekrutmen anak dan pelajar dengan memanfaatkan ruang digital, termasuk diantaranya media sosial, game online, aplikasi perpesan instan dan situs-situs tertutup,” jelas dia.

Mayndra Eka Wardhana menambahkan, penangkapan terhadap lima tersangka tersebut dilakukan sejak Desember 2024 hingga November 2025.

“Penegakan hukum terhadap kurang lebih lima orang dewasa yang berusaha melakukan rekrutmen terhadap anak-anak dan pelajar ya, kaitannya dengan jaringan terorisme,” ungkapnya.

"Jadi dalam setahun ini ada lima tersangka yang sudah diamankan oleh Densus 88 dengan tiga kali penegakan hukum, dari akhir Desember 2024 hingga kemarin hari Senin tanggal 17 November 2025," kata Mayndra.

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner