Liputan6.com, Jakarta Bencana melanda sebagian besar wilayah Sumatera Barat sejak 22 November 2025, mulai dari banjir bandang hingga longsor. Bencana ini tidak hanya merendam ribuan rumah, merusak infrastruktur, tetapi juga menimbulkan korban jiwa.
Data dari Basarnas hingga Jumat 28 November 2025, sebanyak 22 orang dinyatakan meninggal dunia dan 12 orang lainnya masih dalam pencarian dalam bencana ini.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat menyoroti bencana kali ini merupakan akumulasi krisis ekologis selama dua dekade terakhir. Walhi Sumbar menilai rangkaian peristiwa ini bukan sekadar bencana alam atau dampak ekstremnya curah hujan. Ini adalah bencana ekologis.
“Cuaca ekstrem hanya pemicu. Yang membuat bencana sebesar ini terjadi adalah akumulasi kerusakan ekologis bertahun-tahun,” ujar Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumbar Tommy Adam, Jumat (28/11/2025).
Tommy menyebut dari 2001 hingga 2024, Sumbar kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap, sementara total kehilangan tutupan pohon mencapai 740 ribu hektare. Pada 2024 saja, Sumbar kehilangan sekitar 32.000 hektare hutan.
Untuk Kota Padang, Walhi melihat melalui citra satelit ditemukan sejak 2001 hingga 2024, Padang telah kehilangan 3.400 hektare hutan, terutama di kawasan hulu sungai-sungai kecil yang berhulu di Bukit Barisan.
“Jika ruang lindung terus berubah jadi area pembangunan dan hutannya dibabat, jangan kaget kalau kota-kota kita tak lagi punya penyangga alami ketika hujan ekstrem datang,” ujarnya.
Salah satu kawasan yang mengalami kerusakan paling berat adalah DAS Aia Dingin, dengan luas administrasi 12.802 hektare. Wilayah hulu DAS ini seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis yang meredam aliran permukaan dan mengurangi risiko banjir bandang. Namun tekanan aktivitas manusia membuat kawasan ini mengalami degradasi parah.
“Dari 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon, mayoritas di wilayah hulu,” kata Tommy.
Menurutnya kondisi ini menambah kerentanan ekologis yang kemudian berkontribusi pada banjir besar yang melanda Kota Padang pada Kamis (27/11/2023). DAS Aia Dingin sudah masuk kategori sangat rentan secara ekologis.
“Kita berbicara soal kerusakan yang terakumulasi, bukan kejadian spontan,” ucapnya.
Konsekuensi dari Lemahnya Tata Kelola
Tommy menyampaikan bencana yang kini melanda banyak wilayah Sumbar adalah konsekuensi dari ketidakadilan ruang dan lemahnya tata kelola lingkungan oleh pemerintah daerah.
Degradasi hutan, lanjutnya, rusaknya daerah aliran sungai, alih fungsi lahan, tambang ilegal, hingga pembangunan yang mengabaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi faktor yang saling bertaut.
“Seluruh kajian risiko bencana sebenarnya sudah ada, begitu juga aturan tata ruang. Tapi pemerintah daerah tidak pernah sungguh-sungguh mengimplementasikannya,” kata Tommy.
Menurutnya, ketidakseriusan itu tampak dari bencana ekologis yang berulang melanda wilayah yang sama dari tahun ke tahun.
Fenomena gelondongan kayu yang hanyut terbawa arus sungai pada hari kejadian menjadi bukti nyata rusaknya kawasan hulu.
“Itu bukan fenomena alam. Itu tanda kuat bahwa aktivitas penebangan di hulu DAS masih berlangsung,” ujarnya.
Dorong Audit Lingkungan dan Pemulihan Hulu
Walhi Sumbar mendesak pemerintah segera melakukan audit lingkungan menyeluruh, tidak hanya pada usaha legal tetapi juga aktivitas ilegal yang merusak hulu sungai.
Audit ini harus fokus pada hilangnya fungsi ekologis, bukan sekadar checklist prosedural. “Penanganan bencana harus berbasis data akurat dan akar masalah, bukan sekadar respons darurat,” ujar Tommy.
Ia juga menegaskan pentingnya penghentian alih fungsi ruang dan penebangan hutan di kawasan hulu DAS.
Pemulihan tutupan hutan, implementasi kajian risiko bencana yang selama ini hanya menjadi dokumen formalitas, serta penegakan hukum terhadap pelaku tambang ilegal dan illegal logging menjadi langkah penting yang harus segera ditempuh.
“Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan hujan. Banjir ini bukan semata fenomena alam, tapi hasil dari tata kelola ruang yang abai terhadap keselamatan rakyat,” ia menambahkan.
Kejadian Berulang
Sementara Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi menilai rangkaian bencana yang berulang di Sumatera Barat tahun ini bukanlah kejadian yang datang tiba-tiba.
Menurutnya, pola ini adalah bencana tahunan yang terus terjadi karena persoalan kebijakan yang tak kunjung dibenahi. “Kami sudah mengingatkan sejak beberapa tahun lalu bahwa ada masalah dalam perencanaan tata ruang dan wilayah,” katanya saat dihubungi.
Ia menjelaskan, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Sumbar masih menunjukkan minimnya perhatian terhadap aspek konservasi dan perlindungan lingkungan. RTRW, kata Diki, tidak boleh hanya menjadi instrumen untuk mengejar motif pembangunan ekonomi.
“Kalau konservasi tidak diperhitungkan, dampaknya balik juga ke ekonomi: rumah rusak, petani gagal panen, kerugian di mana-mana,” ujarnya.
Dari sudut pandang kebijakan, Diki menegaskan ada dimensi hak asasi manusia yang terabaikan. Ia menilai para korban banjir bandang hari ini sebenarnya adalah korban dari kebijakan yang gagal memastikan ruang hidup aman.
“Itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Negara wajib melindungi warganya,” katanya.
Kelompok rentan termasuk perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas menjadi pihak yang merasakan tekanan paling berat setiap kali bencana datang. Mulai dari akses sanitasi yang terputus, sulitnya mendapatkan air bersih, hingga kebutuhan dasar yang tak terpenuhi.
“Mereka yang paling dulu merasakan dampak dari buruknya tata kelola lingkungan,” kata Diki.
Karena itu, ia mendorong pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota segera berbenah. Ia menekankan bahwa pembangunan tidak lagi bisa dipahami sebagai deretan proyek yang hanya menguntungkan ekonomi jangka pendek.
“Pembangunan harus memikirkan manusia, lingkungan, dan mitigasi bencana. Itu fondasinya,” ujarnya.

9 hours ago
1
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5424044/original/030657200_1764131018-52849dd0-061d-4666-bc04-84d17b11afb6.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5427093/original/058674400_1764326703-1000794399.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381665/original/022165100_1760514135-bandung_zoo.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5427153/original/011204100_1764329285-Badak_Jawa.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426970/original/092425800_1764322634-3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426978/original/058350200_1764322886-Siklon_tropis_Senyar_dan_Koto.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426928/original/028660000_1764321752-Kasus_pembunuhan_keluarga_polisi_di_Nganjuk.png)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426643/original/076374400_1764312549-WhatsApp_Image_2025-11-28_at_05.11.31__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5424712/original/048917600_1764152578-Pelaku_penganiayaan_di_Malang.png)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426696/original/051079100_1764314425-Banjir_di_Deli_Serdang.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/819616/original/084163500_1425231153-borgol.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5057608/original/085918800_1734597170-WhatsApp_Image_2024-12-19_at_14.07.11.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426587/original/001193100_1764310556-rumah_warga_medan_banjir.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426541/original/065915600_1764309416-unnamed__27_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426444/original/048722400_1764305814-WhatsApp_Image_2025-11-27_at_22.36.00__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5411718/original/027752400_1763019573-hujan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423994/original/051593100_1764128855-IMG_8225.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426174/original/078402400_1764289991-1000581502.jpg)




























