Jonestown -
Terkesan mengerikan, tapi lokasi tragedi bunuh diri massal terbesar dalam sejarah modern akan segera menjadi tujuan wisata.
Guyana kini tengah mempertimbangkan untuk membuka kembali bekas komune Jonestown sebagai objek wisata. Hampir setengah abad setelah Pendeta Jim Jones dan lebih dari 900 pengikutnya tewas di pedalaman negara itu.
Melansir The Independent, Senin (16/12/2024) rencana tersebut jika terealisasi akan dilakukan oleh operator tur yang didukung pemerintah. Jonestown yang kini ditumbuhi tanaman hijau lebat, direncanakan akan dibuka untuk para pengunjung. Namun, usulan itu menuai kritik dari banyak pihak yang beranggapan bahwa langkah tersebut akan mengabaikan penghormatan terhadap para korban dan mengungkit kembali kenangan kelam masa lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan pengikut Jones yang pernah tinggal di komune tersebut, Jordan Vilchez, mengungkapkan perasaan campur aduknya terhadap rencana tur ini. Vilchez yang kehilangan dua saudara perempuan dan dua keponakannya dalam tragedi tersebut, mengenang hari di mana ratusan orang diperintahkan untuk meminum cairan beracun.
Ia mengingat bagaimana dirinya hampir menjadi salah satu korban. Vilchez mengatakan bahwa meskipun Guyana berhak mengambil keuntungan dari tempat tersebut, ia berharap tur tersebut bisa dilakukan dengan cara yang menghormati para korban dan memberikan konteks yang tepat mengenai bagaimana begitu banyak orang tertarik ke Guyana dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
"Di sisi lain, saya merasa bahwa situasi apa pun yang melibatkan orang yang dimanipulasi hingga meninggal harus diperlakukan dengan hormat," ujarnya.
Rencana tur itu akan membawa pengunjung ke desa terpencil Port Kaituma yang hanya dapat diakses melalui perahu, helikopter atau pesawat, melintasi hutan lebat yang menghubungkan pedalaman Guyana.
Seorang profesor hukum di Universitas Guyana, Neville Bissember, mengkritik rencana tur tersebut sebagai hal yang mengerikan dan aneh. Mempertanyakan apa yang sebenarnya bisa dipelajari tentang budaya dan alam Guyana dari situs tempat terjadinya bunuh diri massal tersebut.
"Bagian mana dari alam dan budaya Guyana yang terwakili di tempat, di mana kematian akibat bunuh diri massal dan kekejaman lainnya serta pelanggaran ham dilakukan terhadap sekelompok warga negara Amerika yang tunduk, yang tidak ada hubungannya dengan Guyana maupun warga Guyana?," ia mempertanyakan.
Meski menuai banyak kritik, rencana tersebut mendapat dukungan dari Otoritas Pariwisata dan Asosiasi Pariwisata Guyana. Menteri Pariwisata Guyana, Oneidge Walrond, mengonfirmasi bahwa pemerintah mendukung ide tersebut meski menyadari adanya penolakan dari sebagian kalangan masyarakat.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk membersihkan kawasan tersebut agar dapat dipasarkan dengan lebih baik sebagai produk wisata.
"Saya tentu mendukungnya, lagi pula kita telah melihat apa yang telah dilakukan Rwanda dengan tragedi mengerikan di sana sebagai contohnya," uajr Oneidge.
Beberapa pihak yang mendukung berpendapat bahwa Jonestown harus dikembangkan menjadi situs warisan untuk mengenang tragedi tersebut. Salah satunya adalah Astill Paul, seorang kopilot yang menyaksikan langsung pembunuhan anggota DPR AS Leo J. Ryan dan empat orang lainnya pada 18 November 1978, sehari sebelum tragedi bunuh diri massal terjadi.
Paul berpendapat bahwa kawasan tersebut perlu dikembangkan agar pengunjung bisa memahami sejarahnya dengan lebih baik. Saat ini yang tersisa di Jonestown hanyalah puing-puing seperti penggilingan singkong dan struktur bangunan yang sudah rusak.
Sejak tragedi itu, sebagian besar pengunjung yang datang ke lokasi tersebut adalah wartawan dan keluarga korban. Beberapa pihak memperingatkan agar tidak terlalu mengandalkan saksi mata yang akan menjadi bagian dari tur karena cerita-cerita yang disampaikan mungkin tidak sepenuhnya akurat.
Meskipun demikian, tren wisata gelap kini semakin populer dan tur ke Jonestown akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin mengunjungi tempat di mana lebih dari 900 orang kehilangan nyawa pada hari yang sama.
(upd/wsw)