Jakarta -
Tangkuban Parahu sekarang sudah berbenah, mirip dengan Telomoyo. Semua jalan sudah beraspal sampai puncak, tidak perlu ada lagi kesusahan untuk berjalan menuju kawah.
Demikian info dari seorang kerabat kepada istriku. Oleh karena itu, waktu libur panjang kemarin, kami berempat berupaya untuk melihat Tangkuban Parahu dengan wajah yang berbeda ini.
Ternyata, memang Tangkuban Parahu, di sekitar Kawah Ratu tampak berbenah. Waktu saya masih muda dahulu, penampakan Gunung Tangkuban Parahu tidak seperti ini. Jarak antara parkir mobil dengan kawah tidak sedekat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang, antara parkiran dengan Kawah Ratu hanya berjarak satu meter. Seorang pengunjung bisa memarkirkan mobil, keluar dan berjalan empat langkah dan langsung berada di sisi pagar yang melihat kawah ke bawah dengan jurang yang curam.
Jalanan untuk pejalan kaki di sekeliling kawah sudah sangat enak untuk ditapaki. Di sisi sebelah kiri, ada jalan menanjak yang berbatasan dengan hutan dan disediakan sebagai spot untuk foto.
Masjid besar dengan corak warna biru bertengger di salah satu sisi parkiran yang cukup besar.
Meskipun turis dimanjakan dengan kemudahan akses ke Kawah Ratu, menurut saya ini menjadi salah satu kekurangan dari tempat ini.
Kawah Ratu adalah ujung dari sebuah perjalanan. Kawah Ratu adalah hadiahnya. Kawah ini adalah rewardnya. Dan tidak ada rasa yang memuaskan ketika sebuah hadiah didapatkan dengan mudah.
Tidak ada rasa bangga ketika mendapatkan nilai A tanpa susah-susah belajar. Seharusnya, akan lebih memuaskan jika semua kendaraan pengunjung hanya bisa parkir sekitar satu kilometer dari kawah.
Kemudian, memaksa semua turis untuk hiking, berjalan dan berpeluh untuk mendapatkan reward ini. Di jamin, Kawah Ratu akan menjadi hadiah yang menyenangkan untuk dinikmati dan dikenang.
Kawah Domas
Sangkaan saya keliru. Ada satu kawah lagi yang mirip dengan impian saya tentang rewards yang di peroleh di ujung perjalanan.
Sebelum mencapai Kawah Ratu, ada sebuah parkiran kecil yang bisa memuat sekitar sepuluh mobil. Berjarak kurang lebih 1.200 meter dari parkiran ini, ada kawah lain yang bernama Kawah Domas.
Wajah-wajah Korea, China dan Arab, itulah orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan saya, istri dan anak saya menuju kawah Domas.
Untuk menuju kawah Domas, kami harus memarkirkan mobil di parkiran yang tidak terlalu lapang dan merogoh 150 ribu untuk tiket kunjungan dalam satu rombongan.
Suasana hujan rintik-rintik sore hari itu. Tumpahan air ini membuat jalanan di lereng pegunungan menjadi licin dan lengket. Jalanan berkelok-kelok terdiri dari 900 m jalan yang mendatar dan sisanya 300 m adalah jalanan yang menurun.
Di jalanan yang dingin, panjang dan licin ini, saya dan istri berjalan bergandengan tangan saling memapah agar tidak jatuh. Anak saya sudah berjalan jauh di depan bersama pemandu.
Perjalanan ini seharusnya membutuhkan waktu 20 menit dari gerbang sampai kawah, akan tetapi, dengan suasana seperti ini, perjalanan memakan waktu lebih dari 30 menit.
Ujung perjalanan adalah hadiahnya. Kawah Domas berbau belerang. Daerah kawahnya berbatu-batu dan diselimuti uap air hasil dari mata air panas yang terletak menyebar.
Suasana terasa kalem, tenang dan syahdu. Tidak banyak turis yang datang. Hanya kami dan satu lagi rombongan keluarga yang sepertinya dari China.
Mie rebus seduh tersedia mudah di warung sebelah kawah. Toilet dan musala yang lumayan bersih teronggok di belakang warung.
Di sekitar mata air yang panas bersuhu sekitar 40 sampai 45 derajat, pengunjung bisa merendam kaki yang capek berjalan. Salah satu kawah yang agak di atas, airnya bergejolak hebat.
Dengan suhu mendekati 100 derajat celcius, mata air panas ini sungguh tidak ramah untuk kaki. Sebaliknya, air panas ini sangat ramah untuk telur rebus.
Dengan harga 5 ribu rupiah tiap butir telur, saya merendam beberapa butir telur untuk membuktikan keampuhan mata air ini.
Sekitar 10 sampai 15 menit waktu yang dibutuhkan agar telurnya matang. Sambil menunggu telur matang, kami merendam kaki di mata air yang lebih rendah suhunya.
Dengan tidak sabar, setelah 12 menit menunggu, saya mengambil telur yang sedang direbus. Setelah lapisan belerangnya di bersihkan dari kulit telur, telur siap untuk disantap.
Memang, lama waktu yang paling pas untuk merebus telur agar matang sempurna adalah 15 menit. Dengan hanya direndam 12 menit, yang didapat adalah telur seperempat matang.
Kuning telurnya masih berwarna oranye kuat, bukan kuning pucat. Anehnya, putih dan kuning telur terasa creamie dan nikmat.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, mendekati waktu tutup tempat wisata Gunung Parahu. Kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung, dengan beberapa satwa eksotis yang malu untuk bertemu manusia.
Beberapa dari mereka berburu pada malam hari. Ada Lutung, Monyet Putih, Elang Jawa, Babi Hutan dan tiga macam kucing liar. Jangan dibayangkan kucing ini seperti kucing rumahan yang mudah dielus-elus.
Ini adalah kucing liar pemakan daging dengan nama-nama yang gagah. Macan Kumbang, Macan Dahan dan Meong Congkok adalah nama-nama mereka.
Tidak hanya namanya, dengan mencari di mesin pencari, penampakan mereka juga cukup gagah. Mengunjungi Gunung Tangkuban itu seperti menapak tilas kisah cinta.
Bukan cinta Sangkuriang kepada Dayang Sumbi. Akan tetapi cerita cinta yang lain. Yaitu kisah yang terjadi sepanjang 125 ribu tahun sejak gunung ini terbentuk karena ledakan Gunung Sunda, sehingga menjadi gunung kecil yang ramah.
Dan di kawah gunung yang ramah ini, seorang lelaki bisa merebus telur di mata air panas untuk istri dan anaknya yang terasa lezat.