Jakarta -
Beberapa waktu terakhir, kendaraan angkutan barang bernama truk tengah menjadi sorotan. Sebabnya, truk yang bermasalah baik pada kendaraan maupun sopirnya seakan menjadi 'pembunuh' massal di jalanan.
Dalam satu bulan ini saja, sudah terjadi beberapa kali kecelakaan maut yang diakibatkan oleh truk. Masalahnya karena truk rem blong, sampai sopir truk yang mengantuk. Kecelakaan-kecelakaan tersebut membuat nyawa melayang.
Belum hilang ingatan akan tabrakan beruntun di KM 92 Tol Cipularang beberapa waktu lalu. Saat itu, truk yang mengalami rem blong menabrak belasan kendaraan. Kecelakaan itu menimbulkan korban meninggal dunia. Sebelum itu, ada sopir truk ugal-ugalan di Tangerang yang ternyata positif narkoba. Juga ada truk proyek di Tangerang yang menyebabkan bocah meninggal dunia hingga memicu amukan warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, ada lagi kecelakaan di Semarang, pekan lalu. Kecelakaan yang diduga akibat truk rem blong itu terjadi di turunan Silayur, Kelurahan Ngaliyan, Semarang. Truk tronton itu menabrak billboard dan beberapa kios milik warga. Mulai dari toko martabak, tempat cucian motor, tempat laundry, hingga berujung di kios jus. Akibat rem yang blong, truk bermuatan aki itu menabrak sejumlah kendaraan dan menyebabkan dua orang tewas.
Kemarin pagi, sebuah truk menabrak beberapa kendaraan di lampu merah Slipi, Jakarta Barat. Kecelakaan yang disebut dipicu oleh sopir truk mengantuk itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia.
Lalu sampai kapan truk terus menjadi pembunuh massal di jalanan? Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat, mengatakan kecelakaan maut akibat kendaraan angkutan barang ini mungkin akan terus terjadi kalau akar masalahnya tidak dibenahi.
"Sebenarnya setelah kasus di Semarang itu, kesimpulan saya itu adalah kesalahan kita itu liberalisasi masalah tarif. Kata kuncinya di situ," kata Djoko dalam sambungan telepon dengan detikOto, Rabu (27/11/2024).
Liberalisasi tarif, kata Djoko, membuat standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan demi efisiensi biaya. Akibat dari efisiensi biaya itu, masalah jadi merembet ke mana-mana. Perawatan kendaraan mungkin diabaikan, sopir pun mencoba mengirit konsumsi bahan bakar dengan cara yang membahayakan.
"Akhirnya kan menekan pengusaha angkutan itu, ya dia dalam posisi lemah, yang paling lemah lagi posisinya adalah sopir. Sopir tidak punya upah standar," ujar Djoko.
Sopir Truk Diburu Waktu, tak Ada Tempat Istirahat Nyaman
Lebih lagi, sopir tak punya banyak waktu untuk mengantar barang bawaannya. Bahkan, untuk sekadar istirahat nyaman pun tak bisa. Karena diburu waktu agar barang sampai tujuan tidak terlambat, keselamatan diabaikan. Alhasil, kelelahan sopir truk membuat kecelakaan maut tak terhindarkan.
"Belum lagi di lapangan juga kalau sopir mau istirahat, tempat istirahatnya nggak ada yang nyaman. Apalagi Jakarta-Merak itu, kita tahu sering hilang barangnya kan, jadi ya nggak nyaman. Negara tidak punya tempat (nyaman untuk istirahat sopir), negara tidak punya terminal angkutan barang. Punya bangun mewah di tempat yang tidak begitu diperlukan. Yang ada kan pangkalan truk. Pangkalan kan tidak menyediakan standar (kenyamanan), hanya tempat kosong, (untuk) orang istirahat, dan kotor lagi," sebut Djoko.
"Belum lagi pikiran dia. Memang upahnya rendah itu berpengaruh psikologis terhadap sopir ya. Nggak bisa disalahkan sopir, tanggung jawabnya di negara harus hadir sekarang. Kasusnya bukan 1 kali, 2 kali kan," katanya.
Menurut Djoko, kalau masalah tersebut teratasi, maka standar kualitas dan keamanan angkutan barang bisa lebih baik lagi.
"Ya karena masalahnya tadi, liberalisasi itu harus dihilangkan. Artinya, (sekarang) liberal tapi terlalu bebas. Ini liberalisasi tarif ini yang bahaya. Kalau itu sudah dikendalikan, yang lain-lainnya (bisa diperbaiki) lah. Ada sekolah mengemudi, kenyamanan tempat-tempat istirahat, termasuk gajinya si sopir juga bisa lebih standar," jelas Djoko.
(rgr/din)