Masalah Serius Bayangi Pulau Jeju, Lumba-lumba Mati karena <i>Overtourism</i>

2 months ago 49

Jeju -

Pulau Jeju tak hanya terkenal karena keindahan lanskapnya, tapi juga sebagai habitat lumba-lumba hidung botol. Namun setahun ini sudah ada 10 ekor yang mati.

Dilansir dari Channel News Asia pada Kamis (5/12), lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik menjadi spesies terancam punah karena jumlahnya tinggal 120 ekor di alam. Punya air yang hanya, Kota Seogwipo, Provinsi Jeju menjadi rumah bagi spesies langka tersebut.

Namun kekhawatiran kini mulai merebak di kalangan pariwisata, polusi yang berlebihan diduga menjadi penyebab matinya 10 anak lumba-lumba di tahun ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jumlah ini meningkat dari satu kematian tahun lalu, dengan penelitian oleh tim peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar bayi mati tepat setelah lahir.

Para ahli mengatakan bahwa kapal-kapal wisata diyakini menyebabkan stres yang tak terbayangkan bagi lumba-lumba, apalagi dengan meningkatnya minat terhadap wisata menonton lumba-lumba. Kota Seogwipo adalah kota wisata utama di pulau itu.

"Lumba-lumba menggunakan ekolokasi untuk menavigasi dan menentukan arah mereka. Namun dengan begitu banyak kapal, mereka merasa terjebak. Hal ini dapat menyebabkan stres berkelanjutan bagi mereka," kata Oh Seung-mok, direktur kelompok dokumenter Docu Jeju yang juga merupakan bagian dari tim peneliti.

Seperti manusia, lumba-lumba akan mati lemas jika tidak muncul ke permukaan untuk menghirup udara dalam jangka waktu tertentu. Ketika seekor anak lumba-lumba mati dan tenggelam di dalam air, sang induk mencoba menyelamatkannya dengan berulang kali mendorongnya ke permukaan, jelas Oh.

"Ketika jelas bahwa bayi itu tidak bergerak, sang induk mulai menerima kematiannya," tambahnya dengan muram.

"Bahkan ketika tubuh mulai membusuk, sang induk terus menggendongnya, yang menunjukkan penolakannya untuk melepaskan bayi itu. Perilaku ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan manusia saat berkabung."

Undang-undang saat ini yang mengharuskan kapal wisata untuk menjaga jarak setidaknya 50 meter dari lumba-lumba tidaklah cukup, kata pemimpin tim Kim Byung-yeob, seorang profesor ilmu kelautan di Universitas Nasional Jeju.

Ia menyarankan agar kapal menjaga jarak sekitar 800 meter, sementara pengamat lain bahkan mengatakan bahwa tur harus dihentikan sama sekali.

Jo Yak-gol, salah satu pendiri kelompok advokasi hewan Jeju Hot Pink Dolphins, mengemukakan bahwa para operator bersaing satu sama lain untuk berlayar sedekat mungkin dengan lumba-lumba.

"Setiap kali kapal wisata atau kapal nelayan mendekati lumba-lumba, mereka berhenti berburu dan kemudian harus menjauh atau pergi ke arah yang berlawanan dari kapal, jadi mereka (tidak) punya cukup waktu untuk memberi makan bayi-bayi lumba-lumba," tambahnya.

Walaupun kapal wisata berperan besar dalam hal itu, namun operator tur mengatakan bahwa itu bukan satu-satunya alasan lumba-lumba mati, yaitu polusi laut.

Carl Kim, yang mengelola tur kapal pesiar di sekitar pulau, mengatakan lingkungan laut saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan 10 tahun lalu.

"Yang saya yakini lebih serius adalah polusi lingkungan, seperti jaring ikan atau kail yang terlantar, dan perubahan ekosistem," tambah CEO Gimnyeong Yacht Tours itu.

"Menurut saya, itulah penyebab utama tingginya angka kematian. Mereka perlu bernapas, dan jika mereka terperangkap dalam jaring, mereka tidak bisa muncul ke permukaan untuk menghirup udara."

Pembuat film dokumenter Oh menyuarakan sentimen ini, dengan mengatakan bahwa sebagian sampah laut seperti botol plastik, berasal dari negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam.

Menurut Docu Jeju dan pusat penelitian konservasi paus dan kehidupan laut Universitas Nasional Jeju, seekor lumba-lumba terlihat bulan lalu terjerat jaring, tali, dan sampah laut lainnya.

"Masalah pencemaran laut adalah sesuatu yang menjadi tanggung jawab seluruh dunia," kata Oh.

"Begitu sesuatu dibuang, mungkin tampak seperti area di sekitarnya menjadi bersih kembali, tetapi arus laut dapat membawa sampah ini ke bagian lain lingkungan laut, yang mengancam kehidupan laut. Jadi, kita perlu menyadari hal ini."

Untuk membuktikan hal tersebut, ahli membutuhkan penelitian lebih lanjut dalam menentukan nasib lumba-lumba di masa depan. Para ahli mengatakan sesuatu harus segera dilakukan sebelum semuanya terlambat bagi mamalia laut tersebut.

Pulau Jeju baru saja disorot karena hilangnya 38 turis Vietnam saat hendak pulang. Para turis tersebut merupakan bagian dari kelompok sekitar 90 orang yang tiba di Pulau Jeju pada tanggal 14 November. Namun, menurut keterangan pejabat setempat 38 di antaranya menghilang selama pemberhentian terakhir dalam perjalanan mereka sebelum kembali ke Vietnam.

Sementara anggota kelompok lainnya telah kembali dengan penerbangan pulang, mereka yang hilang tidak dilaporkan kepada pihak berwenang. Berdasarkan program pembebasan visa, turis asing yang datang ke Pulau Jeju dapat tinggal hingga 30 hari tanpa memerlukan visa.

Program tersebut merupakan bagian dari Undang-Undang Khusus Pembentukan Provinsi Pemerintahan Sendiri Khusus Jeju, yang memungkinkan warga dari 64 negara untuk tinggal di pulau tersebut hingga 30 hari tanpa visa.

Namun, wisatawan tidak diperbolehkan bepergian ke wilayah lain di Korea Selatan seperti Seoul atau Busan, kecuali mereka memiliki visa yang berlaku untuk daratan.


(bnl/wsw)

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner