Jakarta -
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan perjalanan darat ke Yogyakarta. Bahkan, orang tua saya bercerita bahwa pertama kali saya ke Jogja menggunakan mobil saat saya masih berusia satu tahun.
Sejak itu, road trip ke kota istimewa ini menjadi tradisi keluarga yang terus berulang. Dari perjalanan pertama yang mungkin saya tidak ingat, hingga kini saat saya berusia 20 tahun, perjalanan ke Jogja selalu menyimpan cerita yang berkesan.
Namun, perjalanan ke Jogja di masa kecil sangat berbeda dengan sekarang. Dulu, perjalanan ini penuh tantangan, terutama karena belum adanya jalan tol yang menghubungkan kota-kota besar dengan lebih cepat. Teknologi navigasi juga belum secanggih sekarang, karena saat itu Google Maps belum ada, dan kami hanya mengandalkan peta kertas yang terkadang justru membuat perjalanan semakin panjang. Karena hanya mengandalkan peta kertas, tersasar bukanlah hal yang asing bagi keluarga kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada kalanya kami melewati jalan yang lebih jauh atau bahkan berputar-putar tanpa arah yang jelas. Namun, dari semua pengalaman tersesat, ada satu momen yang paling menyeramkan, yaitu saat kami salah jalan hingga masuk ke Alas Roban di malam hari.
Alas Roban terkenal sebagai jalur yang cukup berbahaya, terutama di malam hari. Jalannya yang berkelok, dikelilingi hutan lebat, dan minim penerangan. Ditambah lagi, daerah ini memiliki reputasi angker yang sering diceritakan oleh penduduk sekitar.
Saat itu, kami benar-benar tidak tahu harus ke mana, dan suasana semakin mencekam ketika kami menyadari bahwa tidak ada kendaraan lain yang melintas. Meskipun akhirnya berhasil menemukan jalan keluar, pengalaman itu membekas dalam ingatan saya.
Perjalanan darat tanpa bantuan teknologi navigasi modern memang menantang, tetapi justru itulah yang membuat setiap perjalanan terasa lebih berkesan. Dulu, sebelum ada jalan tol yang menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Tengah, perjalanan dari Depok ke Jogja bisa memakan waktu 12 jam atau lebih, terutama saat musim mudik. Bahkan, saya pernah mengalami perjalanan hingga 20 jam akibat kemacetan parah, ditambah kecelakaan kecil karena mobil di depan mendadak berhenti. Beruntung, tidak ada yang terluka.
Kini, dengan adanya jalan tol, perjalanan jauh lebih singkat, hanya sekitar 8 jam, dan kemacetan pun berkurang. Meski perjalanan ke Jogja sering melelahkan, kami tak pernah kapok karena kota ini selalu punya daya tarik tersendiri. Dulu, kami hanya mengandalkan peta kertas, sering tersasar, dan harus menghadapi jalan yang rusak.
Namun, ketika saya masuk sekolah dasar, teknologi mulai berkembang, dan Google Maps mulai digunakan, membuat perjalanan lebih mudah. Meski begitu, navigasi digital pun tak selalu akurat, terkadang membawa kami ke jalan sempit atau terjal. Namun, setidaknya kami tidak lagi sering tersesat seperti dulu.
Jika melihat kembali perjalanan yang telah kami lalui selama bertahun-tahun, saya menyadari betapa besar perubahan yang telah terjadi. Dari masa di mana kami harus membaca peta kertas dan sering tersesat, hingga kini ketika perjalanan ke Jogja bisa dilakukan dengan lebih mudah dan cepat berkat kemajuan teknologi dan infrastruktur. Terlepas dari segala tantangan perjalanan, Jogja selalu punya daya tarik yang membuat kami rindu.
Meski sudah berkali-kali ke sana, selalu ada tempat baru untuk dijelajahi, makanan khas yang ingin dinikmati lagi, dan suasana hangat yang tak tergantikan. Kini, perjalanan lebih singkat dan nyaman, tapi satu hal tetap sama, Jogja selalu istimewa.
Setiap kali tiba di Jogja, ada beberapa tempat yang tidak pernah saya lewatkan seperti Malioboro dan explore pantai-pantai di Jogja. Malioboro selalu membawa saya bernostalgia ke masa kecil. Suasananya yang khas, deretan toko oleh-oleh, aroma gudeg yang menggoda, serta suara musisi jalanan yang mengiringi langkah para pengunjung selalu terasa familiar.
Dari dulu hingga sekarang, Malioboro tetap hidup dengan caranya sendiri, seolah tidak pernah berubah meski waktu terus berjalan. Selain itu, setiap ke Jogja, keluarga saya selalu menyempatkan diri untuk menjelajahi berbagai pantai di sana.
Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah Pantai Latulawang. Pantai ini memiliki pemandangan yang begitu indah dengan tebing-tebing megah yang menjulang, air laut yang jernih, serta suasana yang masih relatif sepi dan alami. Berjalan di sepanjang pasirnya yang bersih sambil menikmati angin laut selalu memberikan ketenangan tersendiri.
Kami sering menghabiskan waktu di pantai, entah sekadar menikmati deburan ombak, mengabadikan momen dengan foto-foto, atau mengeksplorasi pantai-pantai tersembunyi lainnya di sekitar Jogja. Setiap perjalanan ke pantai selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan dan membuat kami semakin jatuh cinta dengan Jogja.
Jika melihat kembali perjalanan yang telah kami lalui selama bertahun-tahun, saya menyadari betapa besar perubahan yang telah terjadi. Dari masa di mana kami harus membaca peta kertas dan sering tersesat, hingga kini ketika perjalanan ke Jogja bisa dilakukan dengan lebih mudah dan cepat berkat kemajuan teknologi dan infrastruktur. Karena sekarang perjalanan ke Jogja lebih singkat dan nyaman, saya jadi semakin senang untuk kembali lagi dan lagi.
Namun, satu hal yang tidak pernah berubah, Jogja selalu memiliki daya tarik yang membuat saya ingin kembali. Setiap perjalanan ke sana selalu menyimpan cerita baru, dan saya yakin, di masa depan pun, Jogja akan tetap menjadi destinasi yang penuh kenangan bagi keluarga saya.