Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu, aktivitas warga Desa Sukabangun, Kecamatan Delta Pawan, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat (Kalbar) tampak seperti biasa. Sunyi, tenang, dan lembap oleh sisa hujan malam sebelumnya. Burung-burung kecil melintas rendah di antara pepohonan kelapa, dan aroma asin dari arah muara Delta Pawan mengalir lembut ke daratan. Tidak ada firasat buruk.
Di langit tak ada firasat, bahwa hari itu akan menorehkan luka terdalam bagi warga yang tinggal sudah puluhan tahun di kampung itu. Di rumah paling sunyi, seorang kakek merawat tali pancingnya ritual terakhir sebelum laut merenggutnya untuk selamanya.
Namanya Asmi, usia 65 tahun, perawakan lelaki ini kurus, namun tegap, kulit legam oleh matahari, dan senyum kecil tidak pernah benar-benar hilang dari garis wajahnya. Di kampung, ia bukan sekadar nelayan.
Ia adalah lambang ketekunan. Di usia yang telah menua, ia masih memilih laut sebagai ruang hidupnya, ruang yang telah ditempuh sejak remaja.
Hari itu, ia hendak pergi memancing seperti biasa. Mencari sekadarnya demi mencukupi keluarga. Tidak banyak. Tidak berlebih.
Hanya beberapa kilogram ikan untuk makan hari itu dan sedikit untuk dijual ke pasar sore. Ia tidak tahu bahwa laut yang menunggunya bukan lagi laut yang sama.
Sebelum berangkat, Asmi sempat berbincang dengan seorang tetangga. “Langit cerah, Mi. Kayaknya aman,” ujar Paili, seseorang melihatnya di dermaga kecil kepada petugas SAR Ketapang. Asmi hanya tersenyum, mengangguk pelan. “Aman saja. Saya cepat balik.”
Langit memang tampak bersahabat. Namun para ahli cuaca tahu, di balik awan tipis itu sedang berjalan dinamika atmosfer yang brutal. Tekanan udara turun. Arah angin tak stabil. Selat Karimata sedang memasak badai kecilnya sendiri.
BMKG Kalbar mencatat pada periode itu, terjadi peningkatan potensi cuaca ekstrem akibat pembentukan squall line barisan awan badai yang bisa memunculkan angin ribut dalam hitungan menit.
Kecepatan angin dapat melonjak dua kali lipat tanpa tanda awal. Dan bagi nelayan kecil, kondisi seperti ini ibarat menantang takdir.
Tapi Asmi tidak membaca data. Ia membaca langit. Dan langit hari itu menipu. Sekitar pukul sepuluh pagi, perahu kayu kecil itu mulai menjauh dari muara.
Air tenang mengikuti jejaknya. Sampan kecil itu bergerak menuju titik biasa ia datangi sekitar satu kilometer dari bibir pantai.
Di darat, aktivitas mulai berjalan normal. Anak-anak sekolah pulang lebih awal karena guru mendadak rapat. Sejumlah ibu menjemur pakaian, sementara aroma ikan asin dari rumah panggung sebelah utara mulai menyengat.
Tidak ada yang melihat langit pelan-pelan mengerutkan keningnya. Di tengah laut, angin mulai berubah nada. Tidak lagi lembut, tetapi bersiul pendek.
Gelombang yang tadinya satu jengkal, naik menjadi satu lengan. Dan awan abu-abu sebelumnya jauh di cakrawala, kini bergerak cepat seperti ditarik kekuatan tak tampak.
Badai datang seperti seseorang yang marah tanpa alasan. Pukul sebelas. Perahu Asmi diguncang. Gelombang naik dua kali lebih tinggi. Angin menampar air permukaan. Petir menyambar jauh, namun suara gemuruhnya terasa mendekat.
Nelayan berpengalaman seperti Asmi tahu ia harus melabuhkan jangkar atau memutar haluan. Tapi badai jenis ini bukan badai biasa. Ini badai tumbuh mendadak microburst tipe yang bisa meluluhlantakkan kapal kecil hanya dalam tiga sampai lima menit.
Tidak ada saksi mata. Hanya perhitungan SAR dan pola angin menyimpulkan perahu itu tergulung dari samping dan terbalik. Asmi tenggelam bersama perahunya. Laut menelan sunyi itu tanpa suara.
Nelayan Tak Pulang
Waktu terus berjalan. Asmi tidak pulang pada jam biasanya. Istrinya semula mengira ia hanya menunggu badai reda. Namun sore berlalu, hujan merintik turun, dan rumah kayu itu tetap kosong di kursi bagian depan, tempat Asmi biasa meletakkan keranjang ikan.
Menjelang malam, keluarga melapor ke warga. Kecemasan mulai mengalir dalam benak. Tidak keras, namun pekat.
“Mi biasanya kasih kabar kalau terlambat,” kata istrinya kepada seorang tetangga. Wajahnya pucat, tangannya gemetar ketika merapikan selendang.
Laporan resmi masuk ke Kantor SAR Pontianak pada malam hari. Mereka tidak bisa bergerak langsung karena kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk pergi ke tengah laut.
Pagi berikutnya, operasi pencarian dimulai. SAR mengerahkan perahu, peralatan navigasi, dan tim gabungan. Metode pencarian ditentukan parallel track, pola menyapu area laut secara garis lurus dirancang agar tak ada wilayah terlewat.
Kepala Kantor SAR Pontianak, I Made Junetra, menjelaskan kepada media pada Sabtu, 22 November 2025.
“Sejak hari pertama (20/11/2025) tim SAR gabungan telah berupaya secara optimal untuk menemukan korban,” kata I Made Junetra.
Pagi itu, langit masih kelabu. Angin masih liar. Laut seperti tidak ingin memberi apa pun secara cuma-cuma. Gelombang menghantam kapal pencari. Hujan memukul atap fiber. Angin menjerit di sela antena radio. Namun tim SAR tidak berhenti.
Hari kedua, pencarian diperluas. Mereka mengikuti arah arus, menghitung kemungkinan hanyutan, dan memetakan radius baru. Namun cuaca tetap menjadi musuh utama.
“Selama pencarian hampir tidak ada hambatan berarti, hanya saja kondisi cuaca yang ekstrem memperlambat kerja tim SAR gabungan di lapangan,” ujar Junetra.
Hari ketiga, radar mendeteksi sesuatu. Titik kecil, tidak jelas. Namun cukup menjadi petunjuk.
Perahu SAR mendekat, merobek gelombang. Dan di antara arus yang dingin, tubuh itu ditemukan. Diam. Mengapung. Tak lagi melawan laut dulu ia cintai.
“Hari ini korban telah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia sekitar 1,72 nautical mile (tiga kilometer) dari tempatnya tenggelam,” kata Junetra.
Tragedi itu resmi mencatatkan satu nama lagi ke daftar panjang korban cuaca ekstrem.
Duka Mengikat Desa
Berita itu menyambar Desa Sukabangun seperti petir yang jatuh dekat rumah. Tangis pecah di rumah kayu itu. Tetangga berdatangan membawa doa, bacaan pendek, dan pelukan. Anak-anak dulu sering menerima ikan pemberian Asmi kini hanya diam menunduk.
Mereka mungkin tak sepenuhnya mengerti arti kematian, namun mereka merasakan kehilangan dalam laut biasa memberi kehidupan, kini telah merenggut seseorang yang mereka cintai selamanya.
Asmi pulang, tapi tidak dengan cara yang diharapkan. Jenazahnya dibaringkan di ruang tengah, dikelilingi warga datang mengucap belasungkawa.
Peristiwa ini bukan kasus tunggal. Dalam lima bulan terakhir, SAR Pontianak menangani 14 insiden kedaruratan laut yang sebagian besar dipicu cuaca ekstrem.
Data BMKG menunjukkan peningkatan 29–33 persen intensitas hujan ekstrem di Kalbar dalam dua tahun terakhir.
Gelombang dapat mencapai 2–2,5 meter di perairan Ketapang bagian selatan. Kecepatan angin melonjak dari 10 knot menjadi 30 knot dalam beberapa jam saja.
Pola angin baratan menuju Selat Karimata menyebabkan pembentukan badai lokal berbahaya.
Laut Kalbar kini bukan lagi laut yang jinak. Ia berubah menjadi lautan memerlukan kewaspadaan setingkat lebih tinggi, khususnya bagi nelayan kecil menggantungkan hidup pada perahu sederhana.
Usai operasi pencarian, Junetra kembali memberi imbauan keras. “Melihat intensitas cuaca ekstrem mungkin masih berlangsung selama beberapa hari, kami mengimbau masyarakat pesisir untuk menunda aktivitas di lapangan.”
Ia menambahkan, “Utamakan keselamatan dan terus memantau prakiraan cuaca guna menghindari kejadian tidak diinginkan.”
Namun bagi keluarga Asmi, imbauan ini tiba seperti bayangan yang datang setelah pintu tertutup. Terlambat. Pahit. Menyesakkan.
Laut berubah. Hidup yang harus beradaptasi. Kisah Asmi menyisakan pertanyaan besar, bagaimana nelayan kecil menghadapi cuaca ekstrem semakin tak menentu?
Banyak dari mereka masih mengandalkan “tanda alam” sebagai pegangan. Namun alam kini telah berubah wajah.
Di tengah perubahan iklim, langit tak lagi bisa dibaca. Angin berubah tak terduga, gelombang menghantam tanpa pola, dan badai datang tiba-tiba.
Nelayan pun berlayar dalam kebingungan, bagai menebak-nebak amarah alam yang kian tak bersahabat.
Karena itulah, mereka butuh informasi cuaca cepat, peringatan dini sampai ke pelosok pesisir, serta teknologi navigasi yang murah dan mudah. Sebab, nyawa mereka tak boleh lagi jadi taruhan hanya karena ketiadaan akses dan pengetahuan.
Tanpa itu, tragedi seperti yang menimpa Asmi hanya menunggu giliran untuk terulang.
Asmi mungkin hanya seorang nelayan kecil. Namun kisahnya adalah potret generasi hidup dari laut tanpa banyak perlindungan.
Generasi yang mengajarkan ketangguhan, namun kini terdesak oleh alam yang tidak lagi ramah.
Ia pergi dengan cara yang sunyi, namun meninggalkan pesan yang nyaring. Bahwa laut tidak lagi sama. Bahwa cuaca tidak lagi bisa ditebak. Bahwa keselamatan harus menjadi hal pertama, bukan terakhir.
Kehidupan pesisir membutuhkan perhatian dunia lebih dari sebelumnya. Malam tiba di Ketapang. Laut tampak tenang, seolah tidak pernah mengamuk.
Tapi bagi keluarga Asmi, bagi Desa Sukabangun, dan bagi para petugas SAR menyaksikan langsung ganasnya badai, ketenangan itu kini hanya ilusi.
Di baliknya, ada nama yang hilang. Ada perahu yang tak pulang. Ada nelayan tua yang tidak sempat berkata, “Saya balik cepat.” Laut menyimpan banyak cerita. Cerita Asmi kini menjadi salah satunya.

1 day ago
3
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423746/original/087340800_1764078800-AOMC_2025_india___4_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423740/original/093555200_1764077678-Ratu_Belanda_Maxima.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423738/original/099454800_1764076934-410f4140-b366-4d16-84d4-e30b714155b6.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423734/original/063982800_1764076247-Badan_Bank_Tanah.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5418418/original/081108100_1763617674-8.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423654/original/079300000_1764071144-Polres_Kutai_Barat.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3187033/original/003171100_1595400533-makkah-kaaba-hajj-muslims_21730-6508.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423462/original/061809900_1764063425-Gudang_produksi_tekstil_di_Bekasi_terbakar.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2839359/original/072364800_1561693429-SISWA_SMA_2-Ridlo.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4791706/original/092192700_1712042261-bullying.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5308566/original/039679200_1754548716-IMG-20250807-WA0030.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423121/original/049164000_1764053770-Banjir_di_Kota_Padang.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5421886/original/089068300_1763962678-kondisi_gunung_semeru.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422798/original/096709800_1764044902-Padang_Sumbar.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422701/original/025330400_1764040038-WhatsApp_Image_2025-11-25_at_09.38.23.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5421693/original/070225300_1763956703-IMG-20251124-WA0008.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422524/original/083371000_1763991020-Senapan_modifikasi_sebabkan_panglima_perang_Sabiria_tewas.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422574/original/040314100_1763999151-8f43ae18-d7d9-4c33-b628-e540c2f2f966.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422570/original/022851600_1763998456-IMG_202511328_221150031.jpeg)




























