Jakarta -
Prabowo Subianto memaparkan tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dalam pidato perdana setelah resmi menjadi presiden RI kemarin. Pemerhati lingkungan wanti-wanti bahwa SDA RI tidak lagi sebanyak yang ada di angan-angan apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Prabowo menyampaikan beberapa poin dalam pidato kenegaraan pertamanya, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Termasuk, tentang kekayaan SDA dan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
"Tantangan rintangan hambatan dan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia di tengah dinamika dan pergulatan dunia tidak ringan. Kita paham kita mengerti bahwa karunia yang diberikan yang maha kuasa kepada kita sungguh sangat besar dan beragam," kata Prabowo dalam pidato itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita memiliki luas wilayah daratan dan lautan yang sangat besar, kekayaan alam yang sangat besar kita mengerti bahwa sumber alam ini terdiri dari sumber-sumber alam yang sangat penting untuk kehidupan manusia di abad ke 21 dan seterusnya," dia menambahkan.
"Namun, di tengah segala karunia tersebut di tengah kelebihan yang kita miliki yang memang membuat kita harus menghadapi masa depan dengan optimis tetapi kita pun harus berani untuk melihat tantangan, rintangan, ancaman dan kesulitan yang ada di hadapan kita," kata Prabowo.
Pidato itu ditanggapi dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, MM. Dia menyebut SDA Indonesia tidak lagi berlimpah, apalagi jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Justru ketersediaan SDA, baik yang tergantikan atau pun tidak tergantikan, sudah tidak berimbang jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
"Berkaitan dengan pidato kekayaan Sumber Daya Alam yang sangat besar itu dan dengan berpatokan kepada pembangunan berkelanjutan kelestarian lingkungan, saat ini harus berhati-hati menggunakan istilah SDA yang besar dan banyak, karena sebenarnya SDA yang sudah dikonsumsi oleh jumlah penduduk lebih dari 280 juta itu sudah melampaui bumi Indonesia," kata Mahawan dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (21/10/2024).
"Sebenarnya, jejak ekologis penduduk Indonesia itu sudah lebih besar daripada biocapacity atau kemampuan bumi untuk menyediakan berbagai kebutuhan yang perlu dikonsumsi oleh penduduk Indonesia, sudah melampaui batas, sudah kurang lebih 10 persen," dia menegaskan.
Mahawan mengatakan bahwa Indonesia saat ini harus penuh perhitungan dalam menggunakan SDA. Bahkan kalau bisa ekspor SDA tidak terbarukan, seperti bahan bakar fosil disetop atau dikurangi.
Mahawan pun berpesan agar langkah-langkah yang diambil agar SDA itu bisa mencukupi bagi penduduk Indonesia saat ini dan generasi selanjutnya.
"Agar SDA itu tetap mencukupi maka kita perlu menjaga SDA terbarukan. Jadi, konsumsi SDA terbarukan mulai dari daratan, hutan, lahan, kemudian konsumsi dari perairan dijalankan dengan cara berkelanjutan dan menajemen SDA dilakukan dengan lestari karena sudah melampaui kapasitas," kata Mahawan.
"Yang kedua, SDA tidak terbarukan pun harus dihemat, karena SDA tidak terbarukan kecepatan pembentukan sangat lambat dibanding dengan konsumsi manusia, sehingga semakin mahal harganya bagi kita jika sudah habis dan semakin sulit mendapatkannya karena membutuhkan biaya yang tinggi dan butuh teknologi lebih tinggi. Kita harus berhemat dan harus mementingkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. kalau mau ekspor harus hati-hati, kita harus bertanya lagi apakah masih butuh ekspor," dia menambahkan.
Mahawan mengingatkan pemerintahan Prabowo bahwa saat ini kondisi alam Indonesia tidak baik-baik saja. Jika sebelumnya hanya perlu menghadapi tiga krisis, yakni perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan pencemaran, kini sudah menjadi poli krisis.
"Ada enam krisis yang harus kita hadapi dan pemerintah menyadari itu. Yakni, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan pencemaran, serta tiga krisis lain, yakni perubahan penggunaan lahan, ketersediaan air tawar, dan ketersediaan siklus nitrogen dan fosfor. Jadi, pemerintah yang baru harus hati-hati memperhitungkan ketersediaan SDA yang terbarukan dan tidak terbarukan dan menghitung dengan cermat perbandingan kebutuhan penduduk Indonesia," dia menegaskan.
(fem/fem)