Jakarta -
Mobil listrik bukan menjadi satu-satunya solusi untuk menekan emisi karbon atau dekarbonisasi. Upaya dekarbonisasi ternyata juga bisa dilakukan melalui mobil-mobil mesin konvensional (ICE) zaman sekarang yang rendah emisi.
"Secara global saat ini hampir semua sepakat bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tak semata mobil listrik. Ini tergantung dari masing-masing negara. Norwegia yang listriknya dikatakan hampir 100 persen hijau, karena menggunakan pembangkit tenaga air (hydro power), bisa benar-benar ramah lingkungan," ungkap penulis buku 'Multi-pathway for Car Electrification', Cyrillus Harinowo, dalam keterangannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mobil LCGC Toyota Calya Foto: Dok. Toyota Astra Motor
Namun sebaliknya bagi Indonesia, justru kondisi saat ini menyajikan banyak pilihan yang sesuai. "Saya awalnya tidak aware dan dogmatis, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham bahwa mobil LCGC bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy," sambung Cyrillus.
Di sisi lain, kata Cyrillus, mobil listrik full baterai atau BEV tak sepenuhnya 'ramah lingkungan'. Ini lantaran sumber energi yang digunakan untuk mengisi daya listrik dihasilkan dari sistem pembangkit yang tak ramah lingkungan.
"Kalau kita bicara mengenai penggunaan BEV (mobil listrik) saat ini, mobil listriknya mungkin zero emission. Namun ketika ingin men-charging baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80 persen berasal dari pembangkit listrik yang digerakkan bahan bakar fosil (fossil fuel). Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87 persen," jelas Cyrillus lagi.
Toyota Yaris Cross Hybrid Foto: 20detik
Maka dari itu, penerapan paradigma bahwa mobil listrik bukan satu-satunya solusi dekarbonisasi, menurut Cyrillus semakin mendesak, sebab Indonesia dihadapkan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 sebelum beranjak mencapai visi NZE di 2060.
"Kalau kita bicara mengenai NDC 2030, kembali lagi berkaitan dengan pembangkit energinya, itu tinggal lima hingga enam tahun lagi. Jadi dari situ sebetulnya mobil non-listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang harusnya preferable untuk pencapaian NDC 2030, karena bisa 50 persen carbon free, tetapi gagasan ini seperti melawan arus," sambung Cyrillus yang menulis buku tersebut bersama Ika Maya Sari Khaidir.
"Pada kenyataannya, upaya dekarbonisasi sektor otomotif memang serempak dilakukan secara global. Hanya saja, transisi menuju mobil listrik memang tak mudah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Infrastruktur pengisian baterai masih terbatas, sementara tuntutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca semakin meningkat," kata dia lagi.
Sebagai respons, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan juga Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) sebagai langkah awal sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik, hingga mesin fleksibel. Langkah ini dianggap sebagai solusi dari stagnasi dekarbonisasi jika selalu mengandalkan penetrasi mobil listrik. Terlebih dengan perang dagang sengit antara Barat versus China yang memicu pengembangan multiteknologi.
(lua/rgr)