Jakarta -
Kecelakaan maut lagi-lagi melibatkan truk atau angkutan barang yang mengalami rem blong. Kemarin sore, terjadi tabrakan beruntun yang diduga dipicu oleh truk yang mengalami rem blong.
Truk yang rem blong itu mengakibatkan kecelakaan beruntun yang melibatkan belasan kendaraan. Akibat kecelakaan ini, satu orang meninggal dunia dan 29 orang lainnya mengalami luka ringan hingga luka berat.
Kecelakaan maut akibat rem blong sering kali terjadi. Praktisi keselamatan berkendara sekaligus Instruktur & Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan, kecelakaan akibat rem blong disebabkan oleh kompetensi sopir yang tidak paham dalam melakukan deselerasi di jalan menurun. Bahkan, peristiwa ini kerap terjadi akibat salah kaprah sopir truk yang menginginkan cuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kecelakaan kemarin yang diawali oleh si truk itu, berdasarkan cuplikan video dan berdasarkan analisis saya selama ini, penyebabnya adalah perilaku mengemudi yang tidak didasari dengan pengetahuan," buka Jusri dalam obrolan dengan detikOto melalui sambungan telepon, Selasa (12/11/2024).
Menurut Jusri, para pengemudi truk punya kebiasaan menetralkan transmisi di jalan menurun. Mereka beranggapan saat transmisi dinetralkan, beban kerja mesin jadi ringan sehingga konsumsi BBM lebih irit.
"Ujung-ujungnya konsumsi bahan bakar irit dan ada selisih dari budget yang bisa dibawa pulang. Tapi perilaku ini sangat konyol dan sangat membahayakan diri mereka, muatan, dan pengguna jalan lain," tegas Jusri.
"Ngeblong itu menetralkan trnamsisi dengan harapan menghemat konsumsi bahan bakar. Sehingga selisih budget bisa dibawa pulang. Tapi perilaku ini adalah hal yang membahayakan, hal yang bodoh," katanya.
Dengan menetralkan gigi transmisi, sopir truk hanya mengandalkan service brake atau pengereman dari pedal. Dengan hanya mengandalkan service brake tanpa memanfaatkan engine brake, konstruksi rem lama-lama kepanasan dan mengakibatkan brake fading atau kegagalan fungsi pengereman.
"Kalau kita berdiri di tol situ, hitungan menit setiap truk besar di sana ngeblong, yaitu menetralkan transmisi sehingga lajunya sangat kencang. Apa yang terjadi, perlambatan-perlambatan yang mereka lakukan hanya mengandalkan service brake atau rem kaki. Padahal truk-truk semacam ini mereka sudah menggunakan full air brake. Kalau full air brake, mereka punya sistem pengereman tambahan lain namanya exhaust brake atau retarder, yang tujuannya bisa engine brake," ujar Jusri.
"Pada kecepatan tinggi, karena elevasi jalan yang menurun dengan bobot yang berat, maka momentum ini akan menimbulkan kecepatan yang sangat luar biasa. Dan itu perlambatan yang dilakukan oleh rem kaki itu akan menimbulkan overheating pada sistem rem. Ketika rem panas, dampak lain dari panas adalah brake fading, yaitu penyusutan kemampuan rem akibat overheating," jelasnya.
Jusri menduga, truk yang mengalami rem blong di Tol Cipularang itu melaju di turunan dengan kondisi transmisi netral. Namun, untuk mengurangi beban rem, sopir berusaha masuk gigi. Yang terjadi adalah, sopir truk hanya bisa masuk ke gigi 4 sesuai temuan Kakorlantas Polri.
"Penggunaan service brake ini cukup rentan kecelakaan, takut ngunci, mereka berusaha engine brake tapi dari netral. Kalau netral dalam kecepatan tinggi misalnya 60-80 km/jam, susah masuk ke gigi 2 tuh. Apalagi truk nggak punya synchronize. Jadi yang dia masukin adalah masukin gigi 4 untuk mendapatkan engine brake," katanya.
Namun, efek dari engine brake saat menggunakan gigi tinggi itu kecil. Akibat engine brake yang kecil, kata Jusri, maka laju kendaraan tidak bisa diperlambat secara optimal.
"Harusnya perlambatan untuk objek yang besar ini harus dilakukan dari awal. Mulai menurunkan gigi dari awal," sebut Jusri.
(rgr/din)