Gunung Carstensz di Ujung RI Itu Bukan untuk Pemula, Diincar Pendaki Dunia

7 hours ago 3

Jakarta -

Gunung Carstensz masuk ke dalam daftar salah satu Seven Summit dunia versi Reinhold Messner sehingga menjadi dambaan pendaki di seluruh dunia. Sebagai satu-satunya gunung dengan jalur climbing peak, gunung itu bukan untuk pendaki pemula.

Puncak Jaya ini memiliki ketinggian 4.884 mdpl, kalah dari Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl), Gunung Aconcagua (6.962 mdpl), Gunung Denali (6.190 mdpl), Gunung Elbrus (5.624 mdpl), dan Gunung Vinson (4.892 mdpl). Meski paling rendah di antara seven summit lainnya, Gunung Carstensz spesial dengan karakteristik pendakiannya.

"Gunung Carstensz itu teknikal, satu-satunya climbing peak dari yang lain, bukan untuk pemula," kata Fandhi Achmad, seorang pendaki profesional, sekaligus pemandu dan pemilik ekspedisi PAT Adventure, dalam perbincangan dengan detikTravel, Senin (3/3/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kematian dua pendaki wanita RI, Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono pada Sabtu (1/3) menjadi bukti terbaru keganasan dari Gunung Carstensz. Di hari yang sama, tiga pendaki, Indira Alaika, Alvin Reggy Perdana, dan Saroni, mengalami hipotermia. Mereka menghadapi kondisi itu saat perjalanan turun dari Puncak Carstensz. Indira dkk berhasil diselamatkan.

Fandhi mengatakan di mata dunia, puncak Carstensz adalah puncak paling menakutkan di antara gunung-gunung tertinggi di dunia itu, bahkan bisa dibilang mengalahkan Everest. Mayoritas pendaki yang datang ke Carstensz sedang dalam misi menyelesaikan Seven Summit.

"Orang luar yang mendaki Carstensz rata-rata projek Seven Summit dunia. Gunung Carstensz bukan gunung tinggi pertama mereka, secara fisik dan pengetahuan mereka sudah siap. Sementara itu, orang Indonesia kebalikannya," kata Fandhi.

Teknik Pendakian Tidak Sembarangan

Fandhi mengatakan selain endurance, Carstensz juga menuntut kecepatan para pendaki. Gunung Carstnesz adalah gunung teknikal yang memiliki karakter climbing peak. Artinya, pendaki bisa sampai ke puncak dengan bantuan alat panjat.

Pendaki harus piawai dalam menggunakan tali-temali untuk dapat naik dan turun (ascending dan rappeling) dalam waktu yang terbatas dan suhu rendah, serta oksigen tipis.

"Mereka harus mampu memasang tali, karabiner, harness, dan descender dalam keadaan gelap sambil memakai sarung tangan. Pelatihan itu diadaptasi dari kondisi pendakian yang mana dekat dengan cuaca buruk.

Merujuk pengalaman sebagai trainer, Fandhi mengatakan, bahwa 100% dari pendaki asing lulus dalam pelatihan itu. Para pendaki asing itu sudah terbiasa menggunakan tali-temali dalam pendakian di gunung-gunung es.

Kondisi itu berbeda dengan para pendaki Indonesia yang belum menyentuh gunung-gunung es. Puncak gunung-gunung di Indonesia kebanyakan bisa dijangkau dengan treking peak sehingga tidak memerlukan kemahiran dalam penggunaan tali-temali.

Fandhi menilai aspek itulah yang menjadi celah tragis dalam insiden yang menimpa Lilie dan Elsa. "Mereka berdua kurang pengalaman dengan gunung yang memiliki karakter climbing peak," kata Fandhi.

"Yang bisa tali-temali di rombongan itu paling 5 orang. Carstensz itu manjat, kalau satu orang trouble berhentinya bisa 15 jam," kata dia lagi.

"Belum ada teknologi yang bantu naik ke atas karena teknikal. Ketidakmampuan menggunakan tali itu sama saja mempertaruhkan nyawa," dia menegaskan.

Selain itu, aklimatisasi rombongan di Carstensz juga menjadi sorotan Fandhi. Dalam pemberitaan, disebut bahwa rombongan itu melakukan aklimatisasi dalam tempo dua hari.

"Buat pendaki luar yang sudah naik gunung Seven Summit lain, badan mereka punya memori namanya body memory, tubuhnya sudah ada penyesuaian dalam mengingat pendakian sebelumnya. Jadi kalau dia naik helikopter terus turun di ketinggian 2.000 mdpl, dia mudah aklimatisasi karena sudah pernah naik ke ketinggian 4.000 mdpl," kata dia.

"Tapi untuk orang-orang Indonesia naik Carstensz ini pertama kali. Mereka naik helikopter ke Timika, jadi tubuhnya enggak punya memori, terus aklimatisasi 1-2 hari. Enggak bisa, orang belom pernah naik ketinggian 4.000 mdpl terus aklimatisasi sebentar terus lanjut naik, itu pasti pusing," kata dia.

Berpacu dengan Waktu

Fandhi juga menyatakan bahwa titik terberat pendakian Gunung Carstensz adalah pada saat turun. Pada saat turun, biasanya pendaki sudah lebih capek.

"Sebanyak 90 persen orang meninggal di Carstensz itu dalam keadaan turun karena sudah capek, seperti pendaki China yang meninggal kemarin. Ini kenapa pendaki diusahakan tidak pegang tali dalam keadaan gelap. Konsentrasi sudah hilang, risiko jatuh di tali itu besar, salah pasang karabiner itu besar, itu yang harus dihindari, jadi jam 14.00 sudah harus di bawah," ujar dia.

Perizinan dan Uang

Fandhi juga mengingatkan selain fisik dan kemampuan untuk menggunakan tali-temali, seorang pendaki ke Gunung Carstenz harus menghadapi perizinan yang sulit. Selain itu, pendaki harus menyiapkan banyak uang.

Ya, pendakian Gunung Carstensz memerlukan uang banyak. Pendaki harus merogoh kocek hingga Rp 80 jutaan untuk biaya paket pendakian, itu belum termasuk tiket pesawat dan hotel di Timika. Jika ditotal biaya pendakian Gunung Carstensz per orang bisa sampai Rp 100 jutaan.

"Pendaki asing lebih mahal lagi, bisa sampai 8.000 USD di luar akomodasi," kata dia.

Inilah mengapa, Fandhi tak mau asal-asal membawa tamu meski mereka sanggup untuk membayar semua biaya.

"Mendaki itu proses, kalau muncak dengan modal hampir mati, ya berarti enggak menikmati proses," dia menegaskan.


(bnl/fem)

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner