Cuaca di Gunung Carstensz Selalu Buruk

7 hours ago 2

Jakarta -

Kematian dua pendaki di Gunung Carstensz menjadi sorot utama di media sosial. Mereka meninggal karena hipotermia.

Meninggalnya Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono adalah korban hipotermia di Gunung Carstensz atau biasa disebut Puncak Jaya. Penyelidikan masih dilakukan, cuaca buruk diduga jadi penyebab mereka hipotermia.

Sebagai satu-satunya gunung salju di Indonesia, Gunung Carstensz memang menggiurkan untuk ditaklukkan. Namun sedikit yang mau tahu dan memahami bagaimana karakteristik dari pemilik salju abadi Papua ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikTravel melakukan wawancara dengan seorang pendaki profesional, Fandhi Achmad, yang juga atlet ultra trail Indonesia pada Senin (3/3). Dirinya mengenang pengalaman pertama kali mendaki Carstensz pada tahun 2005, kini totalnya sudah 30 kali ia melakukan pendakian ke sana.

Ia sudah mendengar tentang kabar dua pendaki yang tewas itu. Kebetulan, pemandu kelompok tersebut berasal dari asosiasi yang sama dengannya, sehingga ada sedikit kecewa yang terasa saat ia bercerita.

"Saya baca kronologinya, kalau menurut saya cuaca bukan faktor utama, kalau ke gunung salju, ya pasti hujannya salju. Kalau kita sering ke Carstensz itu, hampir bisa dibilang 80 persen di atas jam 10 pagi itu hujan, biasanya di bawah hujan air, di atas 4.500 mdpl hujan es, di atasnya lagi salju," jelasnya.

Ia menceritakan bagaimana seluk beluk dari Carstensz, dalam kacamatanya mendaki gunung tidak boleh tergantung cuaca. Jika pendaki pasrah dengan cuaca, maka sejatinya gunung hanyalah kuburan massal.

"Kalau cuaca bagus selamat tapi cuaca buruk mati, ya kalau gitu enggak usah mendaki," celetuknya.

Pengalamannya di Carstensz mengajarkan sesuatu, gunung itu memang tidak ramah pada siapa pun, termasuk pendaki. Jika disimpulkan dari catatan pendakiannya, hanya ada 20 hari yang masuk dalam kategori cuaca bagus selama 100 hari.

Ia menegaskan bahwa cuaca di Carstensz tidak dapat disalahkan karena memang itulah karakteristiknya. Ini mengapa pendakian ke Carstensz tidak boleh asal atau hanya punya pengalaman 'naik gunung'.

Hipotermia menjadi cerita lain bagi Fandhi. Sebagai seorang pendaki sekaligus pemandu, dirinya menyimpulkan bahwa hipotermia yang dialami oleh pendaki adalah efek domino dari rangkaian kesalahan yang diawalii dari banyaknya jumlah pendaki dalam rombongan.

"Hipotermia itu kondisi di mana tubuh tidak memproduksi panas tubuh, biasanya orang itu berhenti (dalam keadaan diam). Kalau orang berjalan itu kecil kemungkinan dia terkena hipotermia," ucapnya lewat sambungan telepon.

Carstensz hampir selalu hujan, butuh banyak persiapan untuk bisa selamat dari jalur pendakiannya. Pasrah pada cuaca bukanlah pilihan.

"Di Carstensz hujan bisa berjam-jam, se-waterproof apa pun jaketnya pasti tembus. Karena di cartens ini hujan air, jalur pendaki bisa kaya air terjun. Sudah tubuhnya basah, terus mereka trouble dengan tali-temali," ungkapnya.

Menyinggung tali-temali, Carstensz adalah gunung dengan karakter climbing peak, semua pendakian terhubung dengan tali. Fandhi yakin bahwa rombongan tersebut bermasalah dengan tali-temali, sehingga mereka harus antre untuk bisa ascending, yang berbuntut berhentinya kegiatan, lalu tubuh terkena hipotermia.

"Semakin banyak pendaki kemungkinan troublenya berjam-jam. Semakin banyak trouble, semakin lama antreanya dan dia harus diam nunggu di atas," singkatnya.

Ia menegaskan bahwa cuaca hanyalah salah satu faktor, bukan penentu nasib pendaki. Mereka yang mau menjajal gunung ini harus melatih diri dan mempersiapkan hal yang buruk. Dalam 3o kali pendakian, ia bisa menghitung hanya 5 kali mendapat cuaca bagus.

"Kalau cuma berharap naik gunung dengan cuaca yang bagus, itu sudah salah. Naik gunung itu gimana kita mempersiapkan menghadapi cuaca buruk," tandasnya.


(bnl/wsw)

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner