Liputan6.com, Jakarta - “Bagaimana caranya mereka bisa pulih?” Pertanyaan ini terus menggantung di kepala saya, setelah berhari-hari mendatangi lokasi yang terdampak parah oleh bencana ekologis di Sumatera Barat sejak akhir November lalu.
Pertanyaan itu muncul karena betapa dahsyatnya banjir bandang merebut nyawa, ekonomi, kehidupan sehari-hari orang-orang di sana. Sampai-sampai saya tak bisa menjelaskan apa yang saya rasakan ketika bertemu dengan para korban.
Selasa pagi 25 November 2025, Kota Padang
Hujan mengguyur Padang dengan intensitas tinggi. Meski hujan sudah turun sejak sepekan sebelumnya, pagi itu debit air mulai meningkat di Sungai Batang Kuranji dan Sungai Batu Busuk.
Satu per satu informasi peringatan kenaikan debit sungai masuk ke grup-grup WhatsApp. Meski hujan masih mengguyur, saya memutuskan berangkat ke Sungai Batang Kuranji dan Batu Busuk untuk liputan. Dengan mengenakan jas hujan dan membawa kamera, saya berangkat menggunakan sepeda motor.
Sesampainya di Batu Busuk, air sungai sudah berwarna cokelat pekat, membawa kayu-kayu besar dan menghantam apa pun yang dilaluinya. Saya mengambil beberapa foto, lalu masuk ke area permukiman warga. Air sungai bercampur lumpur, bebatuan, dan batang pohon telah masuk ke rumah-rumah warga, sementara proses evakuasi mulai dilakukan.
Setelah itu, saya pulang ke rumah dan menulis berita, berita pertama dalam rentetan bencana di Sumatera Barat yang hingga kini masih terus terjadi, bahkan saat saya menulis catatan ini pada 16 Desember 2025. Hujan masih terus mengguyur provinsi ini, sementara peringatan cuaca dari BMKG Minangkabau diperbarui. Belum ada informasi cuaca ekstrem akan berhenti.
27 November pagi, saya membuka telepon genggam, di grup-grup WhatsApp kebencanaan sudah dipenuhi informasi jembatan Gunung Nago di aliran Sungai Kuranji putus. Jembatan itu adalah penghubung antara Kecamatan Pauh dan Kuranji.
Saya langsung bersiap, menembus hujan untuk sampai ke jembatan Gunung Nago. Setibanya di sana, saya memotret jembatan yang tidak ada lagi sisanya. Orang-orang memadati lokasi itu untuk melihat jembatan yang dibangun sejak 1969 itu hanyut terbawa air sungai bercampur bebatuan dan pohon besar.
Besoknya, saya menuju Pantai Parkit di Air Tawar Kota Padang. Pascabanjir bandang dua hari berturut-turut, pantai-pantai dipenuhi kayu-kayu besar.
Saya melihat pantai itu dipenuhi kayu gelondongan. Kayu-kayu yang terdampar bukan sekadar sisa banjir banjir bandang, tetapi penanda dari apa yang terjadi jauh di atas sana, di sungai, di lereng, di perbukitan, dan di kawasan yang terus dibabat.
Berdiri di tepi pantai, saya merasa bencana ini tidak berdiri sendiri, ia tersusun dari banyak keputusan yang diambil pemerintah, hingga akhirnya tiba di hadapan kita semua dalam bentuk yang tak lagi bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Rentetan Bencana
Kemudian hari-hari selanjutnya satu per satu daerah di Sumatera Barat dilanda longsor dan banjir bandang. Mulai dari Kota Padang di Batu Busuk, Kuranji, Tabing Banda Gadang. Air dan lumpur mencapai satu meter lebih di dalam rumah.
Kemudian banjir bandang juga menerjang Kecamatan Palembayan, Kecamatan Malalak, Kecamatan Maninjau Kabupaten Agam.
Setelah liputan di Kota Padang ke beberapa titik, pada hari ke empat saya datang ke Salareh Aia Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam.
Kecamatan Palembayan adalah daerah paling terdampak di provinsi ini, ratusan orang meninggal dunia dan ribuan orang mengungsi di daerah ini. Saya bertemu salah seorang korban, seorang ibu dari empat orang anak. Namanya Leli Mariana.
Leli Mariana tak pernah menduga sore yang dingin di Salareh Aia karena diguyur hujan beberapa hari berubah menjadi duka mendalam pada 27 November 2025.
Galodo menghantam rumahnya sore itu, menghanyutkan anak lelakinya dan belum ditemukan hingga hari ini. Bagi Leli, peristiwa ini pertama kali terjadi setelah 31 tahun ia lahir dan besar di Palembayan.
“Saya sedang menyuapi anak-anak makan saat menjelang kejadian, sementara suami saya bekerja di kota lain,” katanya, beberapa waktu lalu di tempat pengungsian di Palembayan.
Lalu dari daerah perbukitan, Leli mendengar suara gemuruh, suara yang asing baginya namun ia ingat orang tua suaminya pernah menceritakan bagaimana suara galodo. Ketika itu ia sadar bahwa galodo akan menghantam rumahnya karena suaranya semakin keras.
Ketika ia menoleh ke belakang rumah, ia melihat air bercampur batu-batu besar dan pepohonan meluap deras ke arah rumah-rumah penduduk. “Airnya sangat besar, mungkin setinggi dua kali rumah kami,” ujar Leli.
Menyadari bahaya itu, ia langsung berteriak memanggil ibu dan adik laki-lakinya. Ia meraih kedua anaknya si bungsu dan si sulung kemudian berlari sekuat tenaga menjauhi rumah.
“Ketika kami berupaya menyelamatkan diri, saya menggendong satu anak saya, sementara anak laki-laki saya digendong di punggung adik saya. Tetapi galodo datang begitu cepat dan menerjang mereka bertiga. Saya melihat anak saya terlepas dari pamannya dan hanyut,” kata Leli dengan suara bergetar.
Leli masih menaruh harapan agar anak laki-lakinya yang berusia 3,5 tahun itu dapat ditemukan dan dimakamkan dengan layak. Rumah miliknya juga lenyap tersapu banjir bandang hingga tidak menyisakan apa pun.
“Hancur total, bahkan lantainya pun hilang,” katanya.
Saat ini, ia bersama ibunya dan anak-anaknya menumpang di rumah adiknya yang berada sekitar lima kilometer dari lokasi bencana Salareh Aia Palembayan. Rumah tiga petak milik sang adik itu kini ditempati oleh tiga KK.
Perempuan lainnya di Palembayan, Suci (30) mengatakan dirinya sempat tidak punya pakaian ganti, termasuk pakaian dalam dua hari setelah galodo menerjang rumahnya.
“Bantuan pada hari kedua masih sangat minim, bahkan untuk air bersih dan pembalut tidak ada,” katanya.
Baru kemudian setelah beberapa hari, bantuan pakaian dalam dan stok pembalut bisa sampai di lokasi tempat ia mengungsi.
Terjebak di Maninjau
Pada Sabtu, 6 Desember 2025, saya bergabung dengan tim warga bantu warga yang menyalurkan bantuan melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang untuk masuk ke Nagari Sungai Batang yang diterjang banjir bandang dalam rentetan bencana akhir November 2025.
Perjalanan menuju lokasi tidak bisa ditempuh dalam satu hari. Akses yang terbatas dan kondisi cuaca memaksa kami menempuh perjalanan selama dua hari, dan bantuan baru dapat disalurkan pada 7 Desember 2025.
Hari pertama perjalanan terkendala hujan deras. Di kawasan Bayur Maninjau, banjir bercampur lumpur dan bebatuan menggenangi jalan. Di titik berikutnya, longsor kembali terjadi. Rencana awal mengirim bantuan melalui jalur darat yang kemudian disambung dengan perahu nelayan terpaksa dibatalkan. Kami sempat tertahan di wilayah Koto Kaciak, Maninjau, tanpa kepastian waktu keberangkatan.
Setelah berdiskusi dengan warga setempat, perjalanan menuju Sungai Batang akhirnya dialihkan melalui jalur darat melewati Tanjung Sani, wilayah yang sebelumnya juga sempat dilanda longsor.
Longsor inilah yang sebelumnya membuat Nagari Sungai Batang terisolasi dan bantuan harus dikirim menggunakan kapal nelayan. Pada 7 Desember 2025, sebagian material longsor sudah dibersihkan, meski jalur tersebut masih berisiko, terutama saat hujan turun.
Rute ini membutuhkan waktu tempuh lebih panjang dibanding jalur biasa menuju Sungai Batang. Di beberapa titik, kendaraan harus melambat karena sisa longsor masih menutupi sebagian badan jalan. Sekitar siang hari, rombongan warga bantu warga akhirnya tiba di Nagari Sungai Batang, tanah kelahiran Buya Hamka.
Memasuki kawasan nagari, pemandangan yang saya lihat berbeda dari yang biasa dikenal orang tentang Sungai Batang dan Danau Maninjau. Material sisa banjir bandang masih terlihat jelas. Bebatuan dan kayu-kayu besar menimbun lahan pertanian dan rumah warga, menyisakan pekerjaan panjang bagi warga untuk membersihkannya.
Tim warga bantu warga menyalurkan bantuan berupa bahan kebutuhan pokok, pakaian anak-anak, pakaian dalam, serta selimut kepada para pengungsi di tiga jorong di Nagari Sungai Batang. Di dalam rombongan juga terdapat tenaga paramedis yang memeriksa kondisi kesehatan pengungsi, terutama anak-anak dan lansia.
Duka yang Entah Kapan Sembuh
Dua pekan saya menjalani liputan bencana di Sumatera Barat dengan ritme yang tidak menentu. Ada hari-hari ketika saya pulang larut ke rumah, dan ada hari-hari ketika saya harus bermalam di lokasi. Liputan kali ini tidak memberi jeda, dan kelelahan menumpuk dari hari ke hari.
Bukan soal kelelahan fisik, tetapi pikiran dan perasaan. Saya terbayang-bayang bagaimana cerita korban banjir bandang ketika kejadian, bagaimana sulitnya mendapat bantuan ketika putusnya akses dan bagaimana hari-hari mereka setelah dihantam bencana.
Meliput bencana di daerah tempat saya tinggal membuat semuanya terasa berbeda. Jalan yang rusak adalah jalan yang biasa saya lewati, sungai yang meluap adalah sungai yang saya kenal sejak lama. Dalam proses wawancara dan pencatatan data, saya menyaksikan bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga kesedihan, kehilangan dan kecemasan warga yang terus berulang setiap kali hujan turun.
Di tengah kerusakan akibat bencana, penanganannya terasa gagap sejak awal. Akses menuju lokasi-lokasi terdampak terputus berhari-hari, distribusi bantuan tersendat, dan banyak warga bertahan dengan kemampuan sendiri sebelum bantuan benar-benar tiba.
Situasi ini memperlihatkan betapa respons negara sering kali tertinggal, sementara warga dipaksa beradaptasi dengan keterbatasan tanpa kepastian.
Yang lebih melukai adalah ucapan-ucapan pejabat yang sama sekali tidak bisa berempati. Pernyataan Kepala BNPB misalnya yang menyebut bencana di Sumatera “hanya mencekam di media sosial” terasa menyakitkan apalagi jika didengar warga yang kehilangan rumah, keluarga dan rasa aman.

16 hours ago
4
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448167/original/012304300_1766015453-IMG-20251217-WA0007__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448160/original/007686900_1766012553-Kontrak_518_Pegawai_Honorer_di_NTB_Habis.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448143/original/026543800_1766010912-1000013590.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5424860/original/067292800_1764161681-banjir_bandang_malalak.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448059/original/065762900_1765978898-Bengkel_motor_Fausul_di_Pulau_Mandangin.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448056/original/043135100_1765977918-Taman_Nasional_Rawa_Aopa_Watumaohai_Konawe_Selatan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448021/original/036022500_1765974491-Proyek_galian_kabel_di_Depok.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5370992/original/003020500_1759623646-WhatsApp_Image_2025-10-05_at_05.54.00__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447926/original/012474800_1765968577-Suasanan_SPKLU_Yogyakarta.png)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447921/original/010249200_1765968417-19f2eec7-147b-4850-9881-5235e7ce43da.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447900/original/019573300_1765967537-Kejati_Kalsel_geledah_kantor_BKSDA.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447862/original/001021800_1765966130-Batu_Nusuk.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447844/original/094734400_1765965264-Plt_Ketua_DPC_PDIP_Surabaya__Yordan_M_Batara_Goa.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5440776/original/031982600_1765444337-10.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5447750/original/049387800_1765962376-Senior_General_Manager_Jasamarga_Nusantara_Tollroad_Tyas_Pramoda_Wardhani.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5446612/original/048709000_1765932774-Polisi_Bersihkan_Tempat_Ibadah.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4253782/original/008523100_1670476796-Jepretan_Layar_2022-12-08_pukul_12.17.44.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5330801/original/089454700_1756367829-10.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5434115/original/036697900_1764915185-7.jpg)
















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5413852/original/010084600_1763203332-IMG_8060__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5418155/original/099953500_1763607580-Tangkapan_Layar_Video_Pelajar_Jatuh.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406943/original/047368300_1762652163-DISHUB_PERIKSA_KONDISI_TRUK.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5409124/original/090705800_1762847004-1001169628.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5405402/original/021689900_1762479257-pegiat_lingkungan.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5195101/original/018538700_1745321608-non-halal__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426036/original/098950800_1764250071-Mendagri.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5418052/original/003419900_1763573564-longsor_di_sukabumi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5407273/original/005610900_1762682341-Bilqis_balita_asal_Makassar_ditemukan_di_Jambi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5407345/original/014035500_1762693215-1000744952.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5417947/original/056137000_1763554247-WhatsApp_Image_2025-11-19_at_17.55.19__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5416951/original/049762300_1763480616-Konflik_dan_bentrokan_antarwarga_di_Kecamatan_Tallo__Kota_Makassar__Sulawesi_Selatan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5407294/original/020672000_1762684002-Burung_Kuau_Kalimantan.jpeg)