Banjir Sumatera dan Matinya Pilar-Pilar Demokrasi Kita

10 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Gelondongan menepas tingkap-tingkap hati

menabrak panji-panji adat

bukan sampah pembalakan liar

tapi limbah yang membusuk di kepala

gelondongan menyumbat halaman kitab-kitab

menampas dalil-dalil hukum

bukan sampah penebangan liar

tapi akar yang rurut oleh hasrat kemaruk

Sepenggal puisi Gelondongan karya penyair Ahmad Maliki Mashar itu menggambarkan bagaimana banjir Sumatera bukan sekadar bencana alam, lebih dari itu adalah praktik tata kelola hutan yang lancung. Desain regulasi kehutanan di negeri ini sejak awal terlalu memberi ruang yang besar bagi praktik-praktik eksploitasi, dan sebaliknya terlalu kecil bagi upaya perlindungan dan pelestarian.

Dari proses pemberian izinnya saja sudah bisa ditebak, semua izin sektor kehutanan, baik hutan tanaman, penebangan hutan alam, pertambangan, hingga pembukaan kebun sawit, sama sekali tidak melibatkan pemerintah daerah apalagi menyerap suara-suara masyarakat setempat. Pada titik ini demokrasi sebagai anak kandung reformasi, yang kita agung-agungkan itu telah mati.

Direktur Ekskutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan, saat dihubungi tim Regional Liputan6.com menjabarkan bagaimana regulasi kehutanan kita (baca: bangsa Indonesia) diposisikan sebagai instrumen distribusi izin, bukan instrumen perlindungan ekosistem dengan menyerap suara-suara dan aspirasi masyarakat.

"Negara lebih sibuk mengatur siapa boleh mengelola hutan, dibanding memastikan hutan tetap menjalankan fungsi ekologisnya. Di sinilah relasi tidak sehat antara negara dan korporasi tumbuh, izin diterbitkan tanpa basis daya dukung ekologis, tanpa mempertimbangkan risiko hidrologis, dan sering kali mengabaikan posisi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Ketika bencana datang, regulasi yang seharusnya menjadi alat pencegahan justru absen. Negara baru hadir setelah kerusakan terjadi," kata Ichwan.

Lebih jauh Ichwan mengatakan, UU Kehutanan 1999, meski pernah menjadi fondasi pengelolaan hutan, kini terbukti tak lagi memadai menghadapi tekanan investasi dan ekspansi industri. Reparasi administratif, seperti pemutihan yang diatur di Pasal 10A dan 10B UU Cipta Kerja, justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi praktik ilegal dalam kawasan hutan, yang bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun. Aturan yang tanpa menyerap sama sekali kegelisahan masyarakat itu, seperti memberikan legitimasi bagi perusahaan untuk menempati kawasan hutan secara administratif.

"Bukan cuma itu, aturan ini kerap menimbulkan konflik tenurial karena tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat dan lokal," ungkapnya.

Mari telisik lagi satu per satu 'arsitektur' regulasi kehutanan di Indonesia yang secara keseluruhan dianggap bermasalah dan tidak menyerap aspirasi masyarakat daerah. Ditambah lagi pengawasan hukum yang lemah membuat efek jera tidak tercipta, sehingga pelanggaran terus berulang.

Pertama, perubahan dan turunan dari UU Cipta Kerja tahun 2020 telah melemahkan prinsip kehati-hatian. Proses perizinan dipercepat, pengawasan dilonggarkan, dan sanksi administratif (ultimum remidium) lebih dikedepankan daripada pemulihan ekologis.

Kedua, regulasi kehutanan tidak lagi tegas melindungi kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), hutan alam tersisa, dan kawasan lindung.

Dalam banyak kasus yang dipantau JPIK, kata Ichwan, izin usaha kehutanan, perkebunan, hingga proyek energi masuk ke wilayah-wilayah yang secara ekologis sangat sensitif.

Ketiga, lemahnya regulasi keterbukaan data. Peta konsesi, izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), hingga data produksi kayu tidak sepenuhnya terbuka. Akibatnya, praktik perambahan dan pembalakan kerap terjadi dalam zona abu-abu yang sulit diawasi publik.

Jika dirincikan, berikut regulasi yang menggerus hutan Indonesia usai disahkannya UU Cipta Kerja:

Pertama, UU No 26/2007, Undang-undang tentang Penataan Ruang direvisi UU Ciptaker, sehingga dalam pasal 18 ayat (2) huruf b, dihapuskan kewajiban menjaga minimal 30% kawasan hutan per pulau/ provinisi.

"Dampaknya menghilangkan batas aman ekologis makro, tutupan hutan menjadi fleksibel mengikuti tekanan investasi. Imbasnya risiko bencana meningkat, lagi-lagi korbannya masyarakat," katanya.

Kedua, UU No 41/1999, undang-undang tentang kehutanan yang direvisi Ciptaker, terdapat pada pasa 110A & 110B, yang intinya berisi amnesti kriminal bagi kegiatan yang terlanjur berada di kawasan hutan, pelanggaran hanya diproses administratif bukan pidana. Dampaknya, seperti memberi legitimasi terhadap perambahan jutaan hektare hutan, hilangnya efek jera, dan impunitas bagi korporasi besar pembabat hutan.

Ketiga, ada UU No 32/2009, undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang telah direvisi dalam UU Ciptaker, di pasal 24, yang berisi izin lingkungan diubah menjadi persetujuan lingkungan dalam skema perizinan berbasis risiko. Analisi dampak lingkungan menjadi lemah dan tidak punya posisi tawar. Imbasnya, pengamanan ekologis preventif runtuh, proyek berisiko malah mudah mendapatkan izin.

Keempat, ada pada PP5/2021 dan PP 22/2021, tentang peraturan pemerintah tentang Perizinan Berbasis Risiko, ada pada turunan UU Ciptaker, yang intinya berisi aturan sentralisasi perizinan ke pusat, evaluasi ilmiah diganti penilaian berbasis risiko di atas kertas. Imbasnya pemerintah daerah kehilangan kontrol, DPD yang harusnya menjadi tameng terakhir masyarakat di daerah tidak ada artinya, izin diproses cepat tanpa verifikasi lapangan, pelanggaran makin sulit dipantau.

"Banjir Sumatera membuka mata kita, yang kita butuhkan sekarang bukan lagi revisi UU Kehutanan parsial, tetapi UU Kehutanan baru yang transformatif, yang mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat," katanya.

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner