Tak Cuma Diganjar Kemerdekaan, Budak-Budak Depok Juga Diajari Baca Tulis

1 month ago 28

Depok -

Sebanyak 150 budak milik Cornelis Chastelein dibebaskan kemudian diberi tanah untuk dikelola. Mereka juga mendapatkan pendidikan layak.

Pada 1600-an jarang atau bahkan tak ada tuan tanah yang memberikan pendidikan untuk budak-budak mereka. Bahkan, untuk memiliki kehidupan yang layak pun rasanya mustahil.

Tetapi seorang petinggi kongsi dagang Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang juga seorang akuntan kaya raya, dari Amsterdam, Cornelis Chastelein berbeda. Dia memiliki kebaikan hati, tak terkecuali kepada 150 budak yang dibelinya di pasar budak Bali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Boy Loen, koordinator Bidang Sejarah di Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), menuturkan bahwa Chastelein memiliki pandangan yang jauh berbeda dengan pejabat VOC lainnya.

Usai lepas dari kongsi dagang yang tamak itu, Chastelein membeli 150 budak untuk mengelola tanahnya. Dari sinilah bukan hanya mempekerjakan budaknya, Chastelein juga memikirkan masa depan para budaknya.

"Dalam perkembangannya, Chastelein karena dia adalah seorang Kristiani yang taat dan pemikirannya, dia berpikir bahwa kalau dia dipanggil Tuhan kelak, 150 budak itu akan tetap tinggal sebagai budak dan hidup di dalam sistem perbudakan," kata Boy kepada detikTravel beberapa waktu lalu.

Koordinator Bidang Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Boy LoenKoordinator Bidang Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Boy Loen. (Pradita Utama/detikcom)

Dalam pemikiran dan keyakinannya, Chastelein ingin budak-budaknya memiliki pengetahuan yang luas. Dia pun memerintahkan beberapa budaknya yang memiliki kemampuan membaca dan menulis untuk mengajari budak-budak yang lain.

"Yang diperintahkan mengajar baca tulis adalah Baprima van Bali dan Carang Asem van Bali, karena di antara 150 budak itu, dua yang bisa baca tulis. Dia perintahkan itu, kemudian media bacanya pada waktu itu di abad ke-17 masih susah, tapi media baca yang dapat diperoleh adalah Alkitab," kata Boy.

Boy juga menjelaskan mengapa Alkitab menjadi sebuah media baca yang tepat pada saat itu, karena ceritanya bangsa Eropa saat itu yang membuka koloni di selatan khatulistiwa memiliki prinsip Gold, Glory, dan Gospel.

"Gospel ini kan penyebaran Injil, penyebaran Injil ya tentunya harus bawa Alkitab. Jadi dengan media baca itu mereka belajar baca tulis," kata Boy.

Depok menyimpan banyak peninggalan Belanda, salah satunya adalah GPIB Immanuel yang berada di Jalan Kamboja, Depok. Gereja ini juga yang tertua di Depok.Depok menyimpan banyak peninggalan Belanda, salah satunya adalah GPIB Immanuel yang berada di Jalan Kamboja, Depok. Gereja ini juga yang tertua di Depok. (Agung Pambudhy/detikcom)

"Kemudian dalam perjalanannya setelah mereka bisa baca tulis, Baprima van Bali dan Carang Asem van Bali dibaptis menjadi orang Kristen. Kemudian diikuti oleh budak-budak lainnya," dia menambahkan.

Lalu, pada masa inilah Boy mengatakan Kaoem Belanda Depok menjadi penganut agama Kristen.

Pendidikan Setara untuk Masa Depan Budak Chastelein

"Chastelein mengatakan kalau mereka bisa baca tulis, mereka akan memiliki pengetahuan dan mengetahui perkembangan dunia," kata Boy.

Setelah memberikan pendidikan yang cukup bagi budak-budaknya, Chastelein juga mengajarkan mereka untuk membuat sebuah organisasi. Saat itu, organisasi tersebut mengurusi kepentingan kemasyarakatan Kaum Depok yang diisi oleh budak-budaknya.

Mulai dari masalah sosial, irigasi, infrastruktur. Karena semuanya sudah tertata, kemudian para budak itu mulai memberlakukan pajak.

"Jadi setiap panen masing-masing budak itu harus menyerahkan 10 persen dari hasil panennya kepada organisasi. Nah dari pajak itu digunakan untuk kesejahteraan Kaum Depok, antara lain untuk pendidikan, keluarga miskin yang menjamin kebutuhan bahan makanan, dan sekolah anak-anak mereka juga terjamin," kata Boy.

Sepeninggal Chastelein

Pada 13 Maret 1714, Chastelein meninggal dunia. Sejak tiga bulan sebelum meninggal, Chastelein sudah menulis sebuah wasiat pembagian tanah yang ia miliki.

Selain untuk anak semata wayangnya Antoni Chastelein dan anak angkatnya Maria Chastelein, tanah di Batavia, ia juga mewasiatkan tanah seluas 1.200 hektare di Depok untuk diberikan kepada 150 budaknya.

"Kalau saya dipanggil Tuhan kelak, pertama, 150 budak-budak itu dibebaskan dari perbudakan menjadi orang merdeka. Kedua, Tanah Depok itu saya wariskan kepada 150 budak," kata Boy.

Sejumlah tinggalan Chastelein masih ada di kawasan Depok Lama, antara lain rumah-rumah bergaya arsitektur tempo dulu, Jembatan Panus di Jalan Tole Iskandar, hingga Tugu Peringatan Cornelis Chastelein di Jalan Pemuda Depok. Kemudian, Gereja GPIB Immanuel, Gedung Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Rumah Tinggal Presiden Depok, serta tiang telepon pertama yang dibangun Belanda dan berdiri sejak 1900. Tiang telepon ini terletak di Jalan Kartini Depok.

Jembatan Panus yang di bawahnya ada aliran Sungai Ciliwung, dari Bogor, Depok, hingga Jakarta, dibangun pada tahun 1917 oleh seorang insinyur Belanda bernama Andre Laurens. Nama Panus sendiri berasal dari Stevanus Leander, seorang warga yang dahulu tinggal di dekat jembatan itu.

Nama 'Depok' juga tercatat sebagai akronim dari De Eerse Protestantse Organisatie van Kristenen atau kurang lebih berarti organisasi pertama orang Kristen Protestan.


(wsw/fem)

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner