Kisah Masjid Kuno di Klaten yang Tetap Setia Memakai Jam Matahari

10 hours ago 4

Klaten -

Ada sebuah masjid kuno di Klaten, Jawa Tengah yang masih setia memakai jam matahari, meski zaman sudah modern. Bagaimana kisahnya?

Di Dusun Kadirejo, Desa Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Klaten ada sebuah masjid yang bersejarah. Masjid Al-Mujahidin namanya.

Masjid yang didirikan sejak abad 18 itu masih mempertahankan penggunaan jam matahari atau jam bencet sampai sekarang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jam matahari bentuknya tidak seperti jam modern yang menggunakan mesin. Benda yang disebut jam matahari hanya berupa sebuah tugu tembok di sisi selatan halaman masjid yang luas.

Tugu dengan tinggi sekitar satu meter itu di atasnya ditancapkan sebatang besi. Di lantai di bawah besi diberi garis simetris dengan beberapa goresan penanda kemiringan matahari.

Meskipun jam matahari itu masih berdiri, di teras masjid juga terdapat dua jam kotak kayu dengan lonceng. Di dalam masjid juga tersedia jam digital modern.

Masjid Al Mujahidin dan jam mataharinya di Desa Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Klaten, Kamis (13/3/2025).Masjid Al Mujahidin dan jam mataharinya di Desa Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Klaten Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng

Lantai Masjid Al-Mujahidin tingginya sekitar 1,5 meter dari tanah. Ruang utama masjid ditopang empat tiang kayu jati utuh berbentuk silinder. Di kanan dan kirinya digunakan untuk ruang pawestren (tempat salat wanita).

Juga terdapat sebuah bedug kulit sapi berdiameter sekitar satu meter berangka tahun 1954 dan papan kayu jam waktu salat yang bertuliskan tahun 1952.

"Untuk beduk saat ini sudah tidak dipakai, panggilan azan dengan pengeras suara. Untuk jam bencet atau jam matahari masih dipakai tapi cuma waktu zuhur saja," kata jamaah masjid, Muti'ulabi (64), Kamis (13/3/2025).

Menurut Muti'ul, dulu di sisi selatan, depan, dan utara masjid itu terdapat kolam untuk bersuci.

"Dulu ada sendang mubeng (melingkar) tapi sak niki pun diurug (sekarang sudah ditimbun). Jerone telung meter (kedalaman 3 meter)," tutur Muti'ul.

BACAJUGA:

Sugeng (70) jamaah lain mengatakan dirinya tidak mengetahui kapan masjid didirikan. Tapi sejak kakek-neneknya masjid itu sudah ada.

"Dari dulu zaman Mbah saya sudah ada. Ini pernah direhab dua kali, karena pernah dibakar sekitar tahun 1950-an, tapi direhab lagi," ungkap Sugeng.

Menurut Sugeng, dari beberapa peninggalan, hanya jam matahari yang masih dipakai. Bedug sudah tidak pernah digunakan.

"Bedug mboten dingge, jam bencet tasih (bedug tidak dipakai tapi jam matahari masih digunakan) ya hanya untuk duhur," katanya.

"Sini masih sering digunakan untuk ziarah, dari Gresik, Jombang, Pantura. Di makam barat masjid ada makam Kiai Ahmad, Kiai Muda dan lainnya," imbuh Sugeng.

Sesepuh Dusun Kadirejo Hasyim Fatah (85) menceritakan masjid aslinya didirikan Kiai Ahmad yang merupakan ulama pondok. Didirikan sekitar tahun 1850 Masehi.

"Di sini dulu kan pondok pesantren ngaji kitab kuning, pimpinannya Kiai Ahmad. Didirikan masjid sekitar tahun 1800-an, kalau tidak salah 1850 Masehi,'' tutur Hasyim kepada detikJateng di rumah tepat di samping halaman masjid.

Kiai Ahmad, sebut Hasyim, merupakan pengembara dan menjadi keluarga cucu mantu Mbah Kiai Reso Pawiro atau R Ng Reso Pawiro Karanganom. Kiai Ahmad merupakan tokoh thoriqoh Syadziliyah.

"Mbah Kiai Ahmad itu Kiai thoriqoh, thoriqoh Syadziliyah. Jadi masih sering untuk ziarah jika bulan Syawal, dari Jombang dan Jawa Timuran banyak," ungkap Hasyim yang masih memiliki garis keluarga dengan Kiai Ahmad.

Masjid lama, kata Hasyim, bangunannya tidak sebesar sekarang dan atapnya dulu masih sirap (kayu). Masjid aslinya kemudian dibakar saat konflik 1949.

"Ini masjid kedua, yang asli dibakar tahun 1949 saat konflik politik militer (pejuang Islam dan komunis) setelah kemerdekaan. Saya lihat dengan mata kepala sendiri dibakar karena sudah umur sekitar 8 tahun, pondok yang dibakar dua, dulu dituduh bedug untuk menyimpan senjata," lanjut Hasyim.

Menurut Hasyim, setelah dibakar kemudian masjid direhab tahun 1952-1953. Yang tersisa sejak dulu hanya jam bencet atau jam matahari di halamannya.

"Jam bencet itu lama, ya sebelum dibakar sudah ada, saya kecil sudah ada karena ada kiai pondok sini dulu ada ahli falaq. Masih digunakan untuk menentukan waktu zuhur," jelas Hasyim.


---------

Artikel ini telah naik di detikJateng.


(wsw/wsw)

Read Entire Article
Global Sports | Otomotif Global | International | Global news | Kuliner