Jakarta -
Di sebuah kafe mungil di Paju, Korea Selatan para pengunjung duduk santai di sofa empuk, menyeruput es americano sambil menatap ke luar jendela besar. Dari situ, pemandangan bukan sekadar pegunungan hijau, tapi wilayah Korea Utara yang dipisahkan oleh pagar berduri dan menara penjaga.
Itulah Kafe Daonsoop. Kafe itu berdiri kurang dari dua kilometer dari perbatasan. Saking dekatnya dengan garis depan, pemilik kafe harus menyiapkan bunker dan titik pertahanan tank untuk mendapatkan izin bangunan.
Pendiri kafe Lee Oh-sook membangun kafe itu bersama suaminya yang juga anak pengungsi Korea Utara. Mereka memilih lokasi itu bukan tanpa alasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari sini, Korea Utara bisa terlihat jelas, sangat dekat tapi tak tersentuh. Orang tua kami dulu selalu bermimpi bisa pulang ke tanah kelahiran, tapi mereka meninggal sebelum sempat mewujudkannya," kata Lee (63), dikutip dari AFP, Jumat (2/5/2025).
Bagi Lee, tinggal di sini adalah cara untuk terus mengenang orang tuanya.
"Kami memilih menetap di tempat ini agar bisa lebih dekat secara emosional dengan mereka," kata dia.
Di balik jendela kafe, membentang jalan Jayu-ro, yang juga sebagai Freedom Road atau Jalan Kemerdekaan. Jalan itu awalnya dirancang untuk menghubungkan Seoul dan Pyongyang, namun kini terhenti di Jembatan Reunifikasi, tak jauh dari kafe.
Sungai Imjin, yang memisahkan dua Korea, mengalir di sisi jalan itu. Di sekitar perbatasan, papan peringatan tentara dengan jelas menuliskan bahwa penyusup bisa dianggap musuh dan ditembak.
Setiap malam, suasana berubah drastis. Dari Korea Utara, pengeras suara raksasa memutar rekaman suara mengerikan, mulai berupa lolongan serigala, jeritan manusia, hingga suara-suara aneh yang membuat kaca kafe bergetar. Itu adalah bagian dari perang suara antara dua Korea yang hubungan diplomatiknya makin renggang.
Namun di balik tensi militer yang kerap terasa, Daonsoop tetap menjadi tempat yang hangat sekaligus bahkan unik.
Tidak hanya menyuguhkan kopi dan pemandangan, kafe itu mempunyai satu daya tarik lagi, yaitu sebuah bunker militer. Tiap tahun, militer Korea Selatan menggunakannya untuk latihan. Di luar itu, bunker tersebut berubah fungsi menjadi galeri seni.
Kim Dae-nyeon, seorang kartunis sekaligus tetangga Lee, memajang karyanya di dalam bunker. Di antara celah-celah kecil yang mengarah ke Korea Utara, tergantung lukisan dan gambar yang penuh makna, tentang luka perpisahan dan harapan akan reunifikasi.
Kartunis Danny Kim berpose di dalam bunker Kafe Daonsoop yang memajang karyanya. (Anthony Wallace/AFP)
"Bunker ini dibuat untuk perang. Tapi saya melihatnya sebagai ruang tempat perdamaian bisa dimulai," kata Kim, yang dikenal dengan nama pena Danny Kim.
Kafe itu bukan hanya menarik bagi wisatawan yang penasaran, tapi juga jadi tempat pulang bagi para pembelot Korea Utara. Saat hari raya seperti Seollal dan Chuseok, banyak yang datang untuk menatap kampung halaman, yang begitu dekat namun tidak bisa mereka datangi lagi.
Dari kejauhan, terlihat para petani Korea Utara bekerja di ladang, membakar sisa tanaman.
Asap dari utara kerap menyelimuti kafe, tapi sebagian pengunjung bahkan tidak sadar bahwa di seberang jendela mereka adalah wilayah Korea Utara.
"Kelihatannya tenang, bahkan damai. Tapi banyak pengunjung yang terkejut saat tahu bahwa Korea Utara hanya beberapa ratus meter dari tempat mereka duduk," kata Lee.
"Ya, banyak yang lupa bahwa negara ini masih terbagi dua. Perpecahan itu kini sudah seperti hal yang biasa," dia menambahkan.
(fem/fem)