Denpasar -
Di Bali, ada dua perayaan yang selalu dinanti-nanti oleh umat Hindu yaitu Galungan dan Kuningan. Sebenarnya, apa makna dari dua hari raya itu?
Di balik ritual dan sesajen yang terlihat begitu sakral, ada hal yang sering terlupakan, yaitu makna sebenarnya dari Galungan dan Kuningan dalam kehidupan sehari-hari.
Ini bukan sekadar hari raya penuh persembahan di pura, tetapi juga momen untuk menakar kembali keseimbangan diri, antara spiritual dan duniawi, antara masa lalu dan masa depan, antara asal-usul dan perjalanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Galungan Sebuah "Pengingat" Bukan Sekadar Upacara
Saat Galungan tiba, masyarakat Bali mempercayai bahwa para leluhur turun ke dunia untuk mengunjungi keluarganya. Rumah-rumah dihiasi dengan penjor, bambu panjang dengan berbagai ornamen yang menjadi lambang persembahan kepada Tuhan dan alam semesta.
Tetapi, apakah hanya soal menghias rumah dan melaksanakan ritual? Sebenarnya, Galungan adalah momen introspeksi.
Dalam filosofi Hindu, Galungan melambangkan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Tetapi bukan hanya dalam cerita mitologi atau perang di masa lampau, pertempuran antara Dharma dan Adharma terjadi setiap hari di dalam diri kita.
Galungan seharusnya menjadi momentum untuk bertanya pada diri sendiri, Apakah kita sudah memilih jalan Dharma dalam hidup ini? Apakah kita masih terjebak dalam nafsu, ego, dan kebiasaan buruk yang menjauhkan kita dari ketenangan batin?
Banyak orang merayakan Galungan dengan sibuk mempersiapkan sajian terbaik, tetapi melupakan refleksi tentang apa yang benar-benar perlu "dibersihkan" dari dalam diri.
Dalam kebisingan upacara, mereka lupa bahwa yang terpenting adalah kemenangan diri, yakni berani melepaskan kebiasaan buruk, memperbaiki hubungan dengan sesama, serta lebih bijak dalam menjalani kehidupan.
Kuningan Saatnya "Berpamitan" dengan Leluhur dan Merancang Masa Depan
Sepuluh hari setelah Galungan, perayaan Kuningan tiba. Berbeda dengan Galungan, Kuningan adalah waktu di mana para leluhur kembali ke alam kedewaan.
Masyarakat pun melakukan persembahyangan dengan lebih singkat, karena diyakini bahwa para roh leluhur hanya berada di dunia hingga tengah hari.
Namun, lebih dari sekadar ritual pelepasan para leluhur, Kuningan seharusnya menjadi hari untuk merancang kembali perjalanan hidup. Ini adalah perayaan yang mengingatkan bahwa kita tidak hidup dalam kekosongan, ada sejarah, ada nilai, ada warisan yang harus dijaga.
Jika Galungan adalah momen kemenangan dan refleksi, maka Kuningan adalah momen perencanaan dan tindakan. Setelah kita menemukan kesadaran baru dalam Galungan, saat Kuningan kita harus bertanya. Apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Bagaimana cara menjaga keseimbangan yang sudah kita bangun? Bagaimana kita ingin dikenang oleh generasi setelah kita?
Mudik di Bali Bukan Sekadar Pulang, Tetapi Menjalin Ulang Akar
Saat Galungan dan Kuningan tiba, banyak masyarakat Bali yang merantau di kota atau luar pulau memilih untuk mudik ke kampung halaman. Tetapi, apakah mereka benar-benar menyadari esensi dari pulang kampung?
Di Bali, kembali ke desa asal bukan hanya soal bertemu keluarga atau mengikuti ritual keagamaan Galungan. Perjalanan pulang ke desa untuk bersembahyang di pura keluarga dan pura leluhur, adalah tentang merasakan kembali "rumah" dalam arti yang lebih luas.
Ini adalah perjalanan yang mempertemukan seseorang dengan asal-usulnya. Banyak orang yang mungkin sudah lama hidup di Denpasar atau di luar pulau, tetapi saat kembali ke desa, mereka dihadapkan dengan kenangan masa kecil, nasihat orang tua, bahkan kehidupan desa yang berbeda dari hiruk-pikuk kota.
Ketika seseorang mudik saat Galungan dan Kuningan, itu bukan sekadar mengikuti tradisi, tetapi juga menyatukan kembali dirinya dengan akar dan sejarahnya.
Galungan dan Kuningan dalam Kehidupan Modern, Masihkah Kita Memahami Esensinya?
Di zaman modern, banyak orang merayakan Galungan dan Kuningan dengan cara yang semakin praktis, membeli sesajen siap pakai, melakukan persembahyangan sekadarnya, bahkan ada yang lebih memilih liburan ke tempat wisata daripada pulang ke kampung halaman.
Sebenarnya, ini adalah cerminan bagaimana manusia mulai menjauh dari makna asli perayaan ini. Galungan dan Kuningan bukan tentang mewahnya sesaji atau tentang berapa banyak kunjungan ke pura.
Lebih dari itu, dua perayaan ini adalah tentang perjalanan internal, bagaimana kita menyelaraskan diri dengan kebaikan, bagaimana kita menghormati kehidupan dan perjalanan leluhur kita, dan bagaimana kita merancang masa depan dengan lebih bijaksana.
Jadi, ketika Galungan dan Kuningan tiba, mungkin pertanyaannya bukan hanya "Apakah kita sudah menyiapkan sesajen?", tetapi "Apakah kita sudah membersihkan hati dan pikiran?"
Karena sejatinya, perayaan ini bukan hanya untuk para roh leluhur, tetapi juga untuk kita, yang masih terus berjuang menemukan keseimbangan di dunia ini.
Akhir kata selamat hari raya Galungan dan Kuningan bagi semua yang merayakan.