Jakarta -
Larangan study tour di Jawa Barat memicu gelombang protes dari sopir bus hingga pelaku usaha wisata. Pakar kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono, menilai kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi itu mencerminkan kelalaian dalam mengkalkulasi dampak sosial dan ekonomi.
Kristian mengatakan kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 45/PK.03.03/KESRA itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang pendidikan. Sebab, larangan tersebut membawa konsekuensi nyata bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor wisata pelajar.
"Demonstrasi yang dilakukan para pekerja wisata kemarin adalah akumulasi dari kekecewaan mereka terhadap dampak kebijakan ini. Sebab, hal ini berkaitan langsung dengan sumber penghidupan yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat," ujar Kristian, dikutip dari detikJabar, Selasa (22/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menekankan bahwa dalam perumusan kebijakan publik, semua dampak terhadap pemangku kepentingan harus diperhitungkan secara menyeluruh. Setiap kebijakan memiliki risiko, baik besar maupun kecil, makanya harus ditimbang secara matang sebelum diterbitkan.
"Dampak kebijakan bisa bersifat positif atau negatif. Karena itu, pembuat kebijakan perlu menghitung dengan cermat setiap kemungkinan, dan menyiapkan langkah mitigasi agar dampak buruknya bisa diminimalisir," ujar dia.
Kristian juga mengingatkan agar pengambilan keputusan tidak dilakukan secara tergesa-gesa atau hanya sebagai respons terhadap tekanan sesaat. Dia menegaskan pentingnya riset mendalam yang melibatkan berbagai perspektif sebelum sebuah kebijakan diterapkan.
"Pembuatan kebijakan harus melalui proses riset yang serius. Dengan begitu, kalkulasi risiko bisa dilakukan secara rinci, dan keseimbangan sosial di tengah masyarakat tidak terganggu," kata dia.
Larangan Study Tour Bukti Intervensi Berlebihan Pemerintah
Kristian juga menilai larangan itu menunjukkan kecenderungan intervensi berlebihan dari pemerintah.
"Tidak semua persoalan di masyarakat harus diselesaikan lewat kebijakan. Ada hal-hal yang bisa diatur dan diselesaikan sendiri oleh masyarakat tanpa perlu campur tangan pemerintah," ujar Kristian.
Dia menyoroti sikap Dedi Mulyadi yang kukuh mempertahankan larangan study tour meskipun mendapat penolakan dari berbagai pihak. Menurutnya, keputusan seperti itu hanya bisa dibenarkan jika didukung oleh alasan yang kuat, terbuka, dan bisa dipertanggungjawabkan secara publik.
"Kalau Gubernur ingin tetap konsisten, maka ia harus menjelaskan secara terbuka alasan di balik kebijakan itu, dengan landasan data, informasi, dan pengetahuan yang relevan. Kalau hanya sekadar bersikukuh tanpa argumen jelas, hal itu justru bisa memperburuk reaksi dari pelaku wisata," kata Kristian.
Pekerja Wisata Bukan Warga Kelas Dua
Dia juga mengingatkan bahwa para pekerja pariwisata adalah bagian dari masyarakat Jawa Barat yang juga wajib diperhatikan oleh pemerintah.
"Mereka bukan warga kelas dua. Mereka juga rakyat yang kesejahteraannya menjadi tanggung jawab Gubernur," katanya.
Kristian menambahkan, jika Gubernur tetap ingin mempertahankan kebijakan larangan study tour, maka sudah semestinya pemerintah menyediakan solusi konkret.
"Kalau tetap dilarang, pemerintah harus membantu mencarikan alternatif rombongan wisatawan, bukan membiarkan para pelaku wisata kehilangan penghasilan begitu saja," ujar dia.
***
Selengkapnya klik di sini.
(bba/fem)