Jakarta -
Direktur Jenderal Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi karbon. Dia mewanti-wanti terkait transisi energi di sektor transportasi. Pemerintah memang gencar soal peralihan dari mobil bensin ke mobil listrik, namun sumber utama pembangkitnya juga perlu menjadi perhatian.
"Dari berbagai sektor industri, transportasi, ketenagalistrikan atau power plant terbangkit dan komoditas, di sini ada sektor emisi yang luar biasa besar itu di industri dan transportasi," ujar Eniya dalam acara Carbon Neutrality (CN) Mobility Event di Gambir Expo, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
"Jadi, transportasi itu pemegang kunci penting juga untuk bisa diturunkan emisinya," sambung dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut jika emisi dua sektor tersebut tak tercapai sampai 2030 nanti, maka target Net Zero Emmision (NZE) pada 2060.
"Peak emission kami itu dijanjikan 2030. Jadi, kami itu emisinya masih naik, nih, sampai 2030. Tapi kalau setelah 2030 nggak turun, ini yang namanya net zero emission 2060 jadi omon-omon nanti."
Dia menambahkan pengurangan emisi menjadi tantangan dari pemerintah dan semua pelaku industri di Indonesia.
"Ini challenge kami ada di 5 tahun ke depan. Jadi, 5 tahun ke depan ini kalau peak emission-nya masih bertambah terus, pasti net zero-nya makin akan ke kanan. Dan ini yang perlu kami perhatikan. Upayanya tidak hanya Kementerian ESDM yang bertanggung jawab, tetapi semua stakeholder termasuk bapak ibu semua," tuturnya.
Indonesia memiliki potensi sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang besar. Jumlahnya mencapai 3,6 terawatt (TW) yang sebagian besar berasal dari tenaga surya 3,3 TW.
Bauran energi di Indonesia masih didominasi energi fosil yang berasal dari minyak, gas, dan batu bara. Padahal, pemerintah sudah menargetkan bauran EBT mencapai 23% pada 2025. Sementara itu, bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai 14,1% hingga 2024.
Deretan pabrikan mobil dari Jepang, Korea, China, Vietnam, hingga Eropa berlomba-lomba berbagai teknologi elektrifikasi, mulai dari hybrid, plug in hybrid hingga battery electric vehicles (BEV).
Hanya saja BEV menjadi teknologi yang didorong pemerintah lewat berbagai paket kebijakan insentif. Namun jumlah kendaraan listrik di Indonesia saat ini masih jauh dari target yang sudah dicanangkan. Transisi industri otomotif dari mobil konvensional langsung ke mobil listrik disebut masih menantang.
Secara spesifik soal target kuantitatif roadmap kendaraan listrik berbasis baterai sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2023 yang membahas Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Di sisi lain, hukum ekonomi berupa permintaan dan penawaran tidak bisa dikesampingkan. Mobil listrik hanya satu dari berbagai inovasi teknologi energi terbarukan.
Bioetanol dan biofuel merupakan transisi energi yang perlu dioptimalkan kendati masih menyimpan pekerjaan rumah, terutama soal ketersediaan bahan bakunya. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pabrikan menyesuaikan teknologinya.
Di sisi lain, hidrogen menjadi teknologi yang tidak boleh dikesampingkan dan sudah memulai penelitian terkait hidrogen. Penelitian ini berbasis kolaborasi dan dibiayai pemerintah serta beberapa pihak industri.
Eniya juga mengungkapkan peta jalan transportasi berbasis hidrogen masih menghadapi tantangan regulasi, khususnya terkait insentif.
"Masalah insentif untuk yang renewable itu kita landaskan kepada rancangan undang-undang energi baru, energi terbarukan yang masih belum dibahas lagi. Nah dasarnya itu. Jadi itu yang membuat kita nyantol (tertahan) karena regulasi enggak ada," ujar Eniya saat ditemui dalam acara Toyota Carbon Neutrality di Jakarta, Jumat (14/2).
Dia bilang belum ada regulasi yang memungkinkan pengalihan insentif dari energi berbasis fosil, seperti batu bara, ke energi terbarukan, termasuk hidrogen. Namun, jika regulasi tersebut sudah memiliki dasar hukum yang kuat, maka model insentif bisa segera disusun. Tapi insentif bagi industri akan bergantung pada mekanisme ekonomi karbon yang tertuang dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
"Di dalam RUU EBET itu ada satu pasal yang menyebutkan bahwa semua badan usaha yang melakukan mitigasi iklim ataupun melakukan penurunan emisi akan mendapatkan insentif via ekonomi karbon," jelasnya.
(riar/dry)